Oleh: Sadri Chaniago
(Dosen Jurusan Ilmu Politik Fisip Universitas Andalas/ Anak Nagari IV Angkek Padusunan, Kota Pariaman)
Pada hari Selasa (9/10), Dr. Genius Umar, M.Si dan Drs. Mardison Mahyuddin, MM telah dilantik sebagai walikota dan wakil walikota Pariaman (kota Tabuik) periode 2018-2023. Akhirnya penantian masyarakat kota Pariaman terhadap pemimpin untuk lima tahun ke depan berakhir sudah, sudah resmi dan sah secara de jure. Bak kata para pendahulu di Minangkabau: biang lah tabuak, gantiang lah putuih, nan diama lah pacah, nan dimukasuik lah sampai. Putiak lah jadi buah, tapuang lah jadi pinyaram. Masuak lah bapalacuik, kalua lah bapahalau. Lah Lakek hitam di ateh nan putiah ! Kedua pemimpin ini adalah walikota dan wakil walikota untuk seluruh warga kota Pariaman, indak basibak jo basisiah, bukan bainggo jo babateh. Jika pada Pilkada mereka berdua adalah “milik” koalisi partai politik pengusung dan tim kampanye, maka sekarang sudah menjadi pemimpin bagi seluruh masyarakat, “pucuak bulek urek tunggang” pemerintah di kota Pariaman.
Memutus Mata Rantai “Pecah Kongsi”.
Fenomena kepemimpinan daerah di kota Pariaman selama ini menunjukan kecenderungan yang kurang elok, yaitu terjadinya “pecah kongsi” antara walikota dengan wakilnya, yang bermula dari kepemimpinan walikota Pariaman pertama sampai dengan kepemimpinan walikota sebelum Pilkada tahun 2018. Pacah kongsi yang dimaksud di sini adalah: hubungan kerja yang kurang harmonis antara walikota dengan wakil walikota. Gejala pecah kongsi ini pertama kali terjadi ketika masa kepemimpinan Walikota Pariaman pertama (2003-2008), yaitu Nasri Nasar – Mahyuddin. Publik tentu masih ingat bagaimana cepatnya berlalu “bulan madu” kedua pemimpin eksekutif ini, sehingga mengakibatkan “seiring, tetapi tidak sejalan.” Takdir Illahi kemudian memutuskan bahwa Nasril Nasar wafat dalam jabatan, yang kemudian digantikan oleh wakilnya Ir. Mahyuddin sebagai walikota.
Kemudian, pada era kepemimpinan walikota Mukhlis Rahman – Helmi Darlis (2008-2013) juga terjadi gejala pecah kongsi. “ka hulu indak sahantah galah, ka hilia indak sarangkuah dayuang,” begitulah kira kira cerminan hubungan kerja mereka ketika itu. Pada periode kedua kepemimpinan Mukhlis Rahman sebagai walikota, dengan wakilnya Genius Umar (2013-2018), ternyata juga terjadi gejala pecah kongsi di akhir jabatan mereka, sehingga “sarantak balain dagam, sabiduak indak sadayuang”. Gejala pecah kongsi kedua pucuk pimpinan pemerintah ini bak membungkus tulang dengan daun keladi, tidak bisa ditutup tutupi dari pengetahuan publik, sehingga cukup berpengaruh dalam dinamika politik Pilkada kota Pariaman tahun 2018.
Dengan dilantiknya walikota dan wakil walikota Pariaman, merupakan momen “ombak tanang, angin salasai”, situasi yang tepat untuk memutus mata rantai gejala buruk pecah kongsi antara walikota dan wakil walikota Pariaman yang terjadi selama ini. Walau bagaimanapun, pecah kongsi yang terjadi selama ini tentu menimbulkan efek negatif dan bersifat kontra produktif terhadap kinerja dan pencapaian visi misi pembangunan. Publik tentunya berharap, agar “kokobeh” dan sejarah nan tak elok ini tak terulang kembali.
Rekonsiliasi Politik melalui Filosofi “Batabuik”.
Penulis berkeyakinan bahwa walikota dan wakil walikota yang telah dilantik memiliki iktikad baik / goodwill untuk melakukan “rekonsiliasi politik”, sebagaimana yang tertuang dalam filosofi politik “Batabuik”, yang merupakan nilai kearifan lokal dalam pengendalian konflik dan dinamika politik selama ini di kota Pariaman. Seperti halnya dalam budaya “tabuik”, ketika tabuik dibuang ke laut, maka segala dendam kesumat harus dihilangkan, masyarakat Piaman harus kembali “badunsanak” seperti sedia kala.
Pariaman itu kotanya kecil, masyarakatnya saling “basambuik siku,” saling kenal mengenal dan memiliki berbagai irisan pertalian. Tak kan putus air dicincang, bak pepatah orang Melayu di Semenanjung. Sesengit apapun perdebatan dan persaingan dalam “menghoyak” dan “menganjungkan” pasangan calon masing masing, ketika pilkada telah usai, seluruh komponen masyarakat harus kembali hidup normal seperti biasa, dengan menghilangkan segala sisa persaingan yang terjadi. Filosofi politik “batabuik” ini harus tertanam di dalam kognisi dan dipraktekan oleh segenap komponen masyarakat “Piaman.” Biduak lalu, kiambang batauik, kito baliak badunsanak, indak dibaco lai sagalo nan lamo !
Oleh karena hal yang demikian, walikota terpilih dan wakilnya dituntut mampu untuk merangkul segala komponen masyarakat Pariaman agar menjadi “sabiduak sadayuang” dalam mewujudkan visi dan misi pembangunan yang telah ditetapkan. Dengan bekal pengalaman malang melintang sebagai aparatur pemerintah dan wakil walikota, serta kualifikasi gelar akademik doktor kebijakan publik, ditambah lagi dengan legitimasi sosial sebagai pemegang gelar Rangkayo Rajo Gandam ke-VII, agaknya merupakan modal yang cukup bagi walikota untuk mewujudkan hal tersebut.
Demikian juga halnya dengan wakil walikota yang memiliki kualifikasi akademik magister, dan memiliki segudang pengalaman politik praktis di lembaga legislatif, semakin memperkuat modal kedua pemimpin ini dalam melaksanakan roda pemerintahan dan gerak pembangunan, yang tentu saja dengan merangkul dan memaksimalkan seluruh potensi yang ada di tengah tengah masyarakat.
Akhirnya, penulis mengucapkan selamat bekerja dan menunaikan amanah kepada Bapak Dr. Genius Umar, M.Si Rangkayo Rajo Gandam VII, dan Bapak Drs. Mardison Mahyuddin, MM. Masyarakat menunggu implementasi visi misi yang merupakan janji politik ketika kampanye dulu. (*)
Komentar