Lintassumbar.id – Marapi Consulting dan Advisory bekerjasama dengan jurusan hubungan Internasional FISIP Universitas Andalas Sumatera Barat menggelar Webinar “Pelibatan TNI dalam Kontra Terorisme” dengan menghadirkan Keynote Speaker Letjen TNI (Pur) Agus Widjojo dan narasumber Irjen POL (Pur) Ansyaad Mbai, Zulkifli Harza, PhD dan Ikhsan Yosarie, SIP.
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menjelaskan ketentuan konstitusional pengerahan TNI harus berdasarkan perintah presiden.
Hal itu sesusai dengan peraturan perundang-undangan yakni hanya berdasarkan perintah presiden melalui pernyataan publik yang terbuka untuk kontrol publik dan DPR serta tidak ada yang dilaksanakan secara otomatis.
Panglima TNI hanya dapat menentukan bagaimana cara melaksanakan tugas dan sama sekali tidak bisa membuat keputusan politik tentang apa yang harus diperbuat TNI sebagai awal penugasan.
Agus menambahkan bahwa masih banyak kalangan terbelenggu dalam tatanan dwifungsi ABRI dan berharap akan pelibatan TNI dalam kontraterorisme tanpa memahami dasar-dasar peraturan perundangan-undangan, ditambah dengan masih adanya kalangan TNI yang menganggap doktrin TNI unik dengan perannya sebagai penjaga bangsa sehingga tatanan dwifungsi ABRI masih dianggap berlaku.
”Ini disebabkan juga kontrol demokratik dari otoritas sipil yang masih lemah untuk menegakkan tatanan dari kemampuan berdasarkan kaidah demokrasi,” jelas Agus Rabu (11/11).
Agus juga menyatakan, upaya kontraterorisme menggunakan kerangka penegakan hukum (criminal justice system) sudah berjalan cukup efektif. Sehingga jika terorisme terjadi di dalam negeri maka akan menjadi tanggungjawab fungsi penegakan hukum oleh Polri dengan perbantuan TNI jika diperlukan berdasarkan keputusan politik atau sebagai akibat pernyataan keadaan darurat.
”Sedangkan jika terorisme terjadi di luar jurisdiksi sistem hukum nasional maka menjadi tugas dan kewenangan TNI,” terangnya.
Agus menyatakan penerbitan Perpres untuk TNI dalam peran menangani terorisme akan rawan tumpang tindih peran dengan berbagai lembaga lain seperti BNPT, Polri, Densus 88 dan lainnya.
Agus pun menyarankan agar rancangan perpres disempurnakan terlebih dahulu dan mengemukakan mendesaknya kebutuhan menerbitkan UU perbantuan TNI kepada otoritas sipil di masa damai yang dapat mewadahi peran perbantuan TNI kepada pemerintah sipil.
Sementara itu, Analis strategi dan keamanan Universitas Andalas Zulkifli Harza, PhD menjelaskan adanya kompleksitas aturan soal perbantuan TNI dalam kontraterorisme dikarenakan UU34/2004 tentang TNI menganut azas hukum humaniter sedangkan UU5/2018 tentang tindak pidana terorisme menganut azas hukum pidana.
Zulkifli menjelaskan bahwa meskipun pendekatan kontraterorisme pada umumnya menganut azas penegakan hukum, termasuk di negara-negara lain, perbantuan militer tetap diperlukan dalam situasi di mana penegakan hukum tidak bisa efektif.
Namun perbantuan harus dilakukan melalui kerangka aturan yang jelas sehingga tidak akan terjadi tumpang tindih peran. Zulkifli menjelaskan bahwa pelibatan militer dalam kontraterorisme di Indonesia rawan potensi pelanggaran HAM meskipun diperlukan karena keterbatasan kemampuan kepolisian dalam situasi tertentu seperti di Poso.
Sementara itu Peneliti HAM dan sektor keamanan Setara Institute for Democracy and Peace Ikhsan Yosarie, SIP menegaskan bahwa fungsi penangkalan seperti yang tertera pada pasal 2 rancangan perpres pelibatan TNI dalam kontraterorisme tidaklah dikenal karena pasal 43 UU5/2018 menggunakan istilah pencegahan yang merupakan bagian dari tugas BNPT.
”Fungsi pencegahan dan pemulihan sebaiknya sebaiknya dikerjakan oleh badan-badan lain yang memang memiliki kompetensi, seperti BNPT, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, dan lembaga-lembaga lainnya,” imbuhnya.
Rancangan perpres ini, tambahnya, juga menghilangkan kontrol DPR atas pengerahan TNI dalam kontraterorisme karena menyebutkan pengerahan kekuatan TNI hanya didasari oleh instruksi oleh Panglima TNI berdasarkan perintah presiden, padahal UU34/2004 menegaskan bahwa pelaksanaan operasi militer selain perang harus berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara yang berupa keputusan presiden dengan persetujuan DPR.
”Rancangan perpres ini juga tidak menyebutkan mengenai eskalasi ancaman sehingga menjadi tidak jelas kapan tepatnya perbantuan TNI diperlukan,” pungkasnya.
Ikhsan juga menyoroti pasal 14 dari rancangan perpres yang menyebutkan sumber anggaran perbantuan TNI dapat berasal dari sumber-sumber di luar APBN yang jelas-jelas bertentangan dengan pasal 66 dan 67 UU34/2004 yang menegaskan bahwa pendanaan TNI hanya dapat berasal dari APBN. (Rilis)