Oleh: Bima Putra – Ketua Ikatan Mahasiswa Nagari Kapalo Koto
Lintassumbar.id – Konsep keadilan elektoral (electoral justice) merupakan instrumen penting untuk menegakkan hukum dan menjamin sepenuhnya penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksanaan pemilihan yang bebas, adil, dan jujur (International IDEA, 2020).
Keadilan elektoral didesain untuk menjamin bahwa setiap tindakan, prosedur, dan keputusan terkait dengan proses pemilu sesuai dengan kerangka hukum; melindungi atau memulihkan hak pilih, dan memungkinkan warga yang meyakini bahwa hak pilih mereka telah dilanggar untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan, dan mendapatkan putusan.
Konsep keadilan elektoral itu sangat krusial bagi eksistensi perempuan politikus (calon, tim kampanye, atau relawan), penyelenggara pemilihan, maupun pemilih. Itu disebabkan kecurangan atau pelanggaran pemilihan yang terjadi berpengaruh dan punya dampak lebih besar terhadap kelompok mahasiswa.
Sebut saja, mahasiswa sebagai calon, mereka kebanyakan hadir dengan limitasi modal, dengan kecenderungan politik etis yang lebih dominan untuk berkompetisi sesuai dengan aturan main dan etika politik yang ada. Kecurangan dan manipulasi pemilihan sangat mencederai kesempatan mahasiswa untuk mengakses kompetisi yang adil dan setara.
Selain itu, proteksi terhadap mahasiswa untuk menjadi pemilih yang mandiri, bebas dari kebohongan, intimidasi, pengaruh yang menyesatkan, dan tekanan dalam bentuk apa pun merupakan keniscayaan yang harus dihadirkan negara. Tujuannya agar suara mahasiswa hadir sesuai dengan kemurnian kehendaknya. Karena itu, keadilan elektoral harus jadi komitmen yang mampu dihadirkan penuh oleh elemen negara, yang menjadi bagian dalam pengawasan dan penegakan hukum pemilihan.
Pengawas diharapkan memiliki perspektif yang memadai untuk memberikan rasa aman dan perlindungan pada mahasiswa atas hadirnya pemilihan yang bebas dan adil. Selain itu, aparat penegak hukum mampu menghadirkan penegakan hukum pemilihan secara proporsional dan adil tanpa melemahkan partisipasi politik mahasiswa.
Afirmasi bisa dihadirkan pengawas pemilihan, misalnya dengan menyediakan layanan pengaduan dan pelaporan pelanggaran ramah mahasiswa. Kecenderungannya selama ini ada keengganan dari pemilih dan mahasiswa calon untuk melaporkan pelanggaran pemilihan karena merasa laporan mereka akan mengganggu kohesi sosial dan bisa memperburuk relasi personal dan keluarganya dengan lingkungan sekitar mereka.
Sistem hukum pemilihan yang ada pun dianggap belum memberikan jaminan rasa aman terhadap potensi munculnya gangguan dan intimidasi sebagai ekses dari laporan yang mereka buat itu. Karena itu, sosialisasi dan upaya afirmasi menyediakan prosedur yang inklusif bagi perempuan perlu dihadirkan bukan sebagai bentuk diskriminasi, melainkan wujud kehadiran negara untuk melindungi mereka yang jadi bagian kelompok rentan guna mendapatkan keadilan dan kesetaraan perlakuan.
Dengan demikian, saat keadilan elektoral terwujud, perempuan akan makin percaya bahwa demokrasi hadir dan tidak meninggalkan mereka.
Ancaman Politik Uang
Praktik politik uang menjadi salah satu masalah klasik pada pelaksanaan pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Pelaksanaan Pilkada Tahun 2020 pada tanggal 9 Desember 2020 akan digelar dalam situasi pandemic Covid-19.
Maka pelaksanaan tahapan pilkada dilaksanakan mengunakan protokol kesehatan dan memberikan batasan jumlah manusia dalam segala pertemuan dan aktifitas.
Penyelenggara pemilu akan menghadapi tantangan berat dalam melaksanakan pemilihan kepala daerah kali ini. salah satu tantangannya adalah maraknya praktik politik uang akibat dampak resesi ekonomi dengan memanfaatkan program bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19.
Potensi penyelewengan kekuasaan yang dilakukan pada petahana (kepala daerah incumbent) akan sangat besar mengingat kondisi masyarakat saat ini sangat membutuhkan bantuan pemerintah. Maka peluang bansos untuk dijadikan alat kampanye sangat memungkinkan. Fenomena ini biasa disebut politik gentong babi (pork barrel project/politic) yang berupa petahana menggunakan anggaran publik untuk mengambil keuntungan dari masyarakat.
Hal ini terjadi karena pimpinan daerah yang ditunjuk sebagai ketua gugus tugas dalam penanganan Covid-19. Hal ini rentan dimanfaatkan oleh petahana terutama dalam hal bansos yang kerap diselewengkan. Ada pun beberapa upaya untuk meminimalisir potensi pelanggaran diantaranya pemberian bansos harus diberikan kewenangannya kepada pejabat daerah yang memiliki otoritas. Begitu pun pimpinan daerah yang akan kembali maju yang kerap merangkap sebagai ketua gugus tugas harusnya dapat digantikan kepada pejabat yang memiliki kewenangan lainnya.
Penyelenggaraan Pilkada di era new normal akan membentuk pola-pola baru dalam hal politik uang. Tahapan kampanye menjadi hal yang paling rentan dalam politik uang. Harus ada inisiatif-inisiatif yang dilakukan sebelum tahapan kampanye dimulai. Diperlukan upaya-upaya dalam pengawasan praktek politik uang terutama dalam pencegahan, salah satunya kolaborasi Bawaslu dan stakeholders.
Upaya-upaya dari Bawaslu harus dilakukan untuk mempersiapkan SDM pengawas di masyarakat. Setidaknya terdapat 2 (dua) bentuk strategi yang dapat diterapkan dalam meminimalisir politik uang. Pertama, strategi jangka pendek, dimana gerakan Desa Anti Politik Uang merupakan upaya mitigasi Bawaslu dalam penyelenggaraan Pilkada. Kedua, strategi jangka panjangnya ialah perlu adanya sosialisasi jangka panjang yang dilakukan secara bersama-sama dengan Bawaslu.
Sementara itu, praktik politik uang kerap ditemukan di lapangan dengan berbagai modus, seperti membagikan uang secara tunai, memberikan sembako, hadiah atau doorprize uang atau barang, memberikan insentif tertentu. Lalu, memberikan sejenis bansos, mengiming-imingi asuransi bagi yang memilih kandidatnya, atau memberi pekerjaan sesaat dan menjanjikan jabatan tertentu, dan sebagainya. Terlebih, perkembangan teknologi yang begitu canggih dapat memuluskan praktikpraktik politik uang tanpa terdeteksi oleh pengawas maupun penyelenggara pemilu dan aparat penegak hukum. Padahal, hukuman yang menjerat para pelaku politik uang cukup berat.
Hal ini sebagaimana diatur dalam beberapa Pasal Undang-Undang No 10 Tahun 2016 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 6 Tahun 2020 tentang Pilkada. Misalnya, Pasal 187A ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia, baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk memengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.Di ayat (2) diperjelas bahwa pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Berdasarkan aturan di atas, dapat dinyatakan bahwa yang terjerat perbuatan melawan hukum berupa politik uang bukan hanya pemberi, tetapi juga penerima, baik berupa uang atau materi lain yang berkorelasi dengan pengaruh suara atau hak pilih seseorang. Kemudian, dalam Pasal 187B UU Pilkada disebutkan bahwa anggota partai politik atau anggota gabungan partai politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 dan paling lama 72 bulan, dan denda paling sedikit Rp.300 juta, dan paling banyak Rp. 1 miliar.
Regulasi di atas sesungguhnya sudah relatif cukup mengatur terkait sanksi politik uang. Namun, problem utamanya ada pada niat baik dan moralitas para pihak yang terlibat pilkada. Jika yang memberi dan yang menerima imbalan sama-sama senang, alias memiliki hubungan resiprokal di antara keduanya dan tidak diketahui oleh Bawaslu, maka atas tindakan itu sulit dilakukan penegakan hukum (law enforcement).
Komentar