Oleh: Sadri Chaniago – Kandidat Doktor Ilmu Politik di FISIP Universitas Indonesia/ Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas.
Kalau tidak ada aral yang melintang, insyaallah pada tanggal 5 Maret tahun 2023 ini keluarga besar persyarikatan Muhammadiyah beserta “Organisasi Otonom (Ortom) Khusus” A’isyiyah Kota Pariaman akan melaksanakan “Alek Gadang” lima tahunan sekali, yaitu Musyawarah Daerah (Musyda) Muhammadiyah dan Aisyiyah Kota Pariaman. Iven penting dengan agenda utama suksesi Pimpinan Daerah Muhammadiyah dan Aisyiyah Kota Pariaman ini akan dihelat di komplek MTsM Kurai Taji, Pariaman Selatan. Peserta penuh (yang memiliki hak suara) pada Musyda ini terdiri dari utusan: ranting, cabang, Ortom tingkat daerah dan unsur Pimpinan Daerah Muhammadiyah periode sebelumnya.
Sebagaimana lazimnya dalam “pakem” internal di Muhammadiyah, pemilihan pimpinan dilakukan dengan menggunakan sistem formatur yang terdiri dari 13 orang, di mana para calon anggota formatur ini diusulkan oleh pimpinan cabang dan pimpinan daerah Muhammadiyah, kemudian dipilih oleh peserta penuh Musyda. Calon formatur yang memperoleh suara tertinggi 1 sampai dengan 13 itulah yang akan menjadi “Tim 13”, yang akan bermusyawarah dan bermufakat untuk menentukan ketua, sekretaris, dan bendahara.
Dengan semakin dekatnya pelaksanaan Musyda, dinamika internal di kalangan Muhammadiyah dan Aisyiyah mulai terlihat “menghangat” dan menggeliat dengan dinamis. Para Pimpinan Cabang Muhammadiyah di Kota Pariaman pun sudah menyetorkan susunan nama-nama calon anggota formatur kepada panitia pemilihan (Panlih). Selain itu, juga sudah mulai mengapung beberapa nama yang akan “dianjuang tinggi, diambak gadang” sebagai pucuk pimpinan Muhammadiyah Kota Pariaman. Di antara nama-nama yang mengapung tersebut, ada yang berasal dari kalangan tokoh senior, dan dari kalangan Angkatan Muda Muhammadiyah. Biarlah peserta dan dinamika Musyda nanti yang akan memutuskan, siapa yang dianggap paling memenuhi persyaratan “patut dan mungkin”, serta mampu untuk mengemban amanah menjadi pucuk Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Pariaman untuk periode 2022-2027.
Kebutuhan Praktik Warga Muhammadiyah
Sehubungan dengan pelaksanaan Musyda Muhammadiyah Kota Pariaman yang ke –V ini, ada beberapa pokok pikiran yang “terkilan-kilan” di dalam kepala Saya, terkait dengan kriteria Pimpinan Muhammadiyah Kota Pariaman, menurut konteks “kebutuhan praksis” kalangan internal Muhammadiyah, dan dinamika politik daerah. Menurut hemat Saya, pokok pikiran atau gagasan ini penting untuk disampaikan kepada publik Muhammadiyah Kota Pariaman, untuk “dikunyah-kunyah”, dan mudah-mudahan bisa dijadikan referensi dalam menentukan figur pimpinan Muhammadiyah Kota Pariaman untuk lima tahun ke depan.
Sebagai salah seorang kader “formal” dan “Informal” Muhammadiyah yang ditempa di “kawah candradimuka” Cabang Muhammadiyah IV Angkek Padusunan, tulisan ringkas ini merupakan salah satu bentuk “tanggung jawab moral dan intelektual” Saya pribadi, dalam rangka: jikok takalok manjago an, jikok talupo maingek an. Maminteh sabalun hanyuik, malantai sabalun luluih! Mudah-mudahan pikiran sederhana ini bisa menjadi pertimbangan bagi peserta Musyda dan keluarga besar Muhammadiyah Kota Pariaman, dalam memilih “pucuak bulek, urek tunggang, pusek jalo, pumpunan ikan” Muhammadiyah kota Pariaman.
Dalam pandangan Saya, kriteria figur pimpinan Muhammadiyah Kota Pariaman ke depan yang diharapkan adalah: Pertama, individu yang memiliki “Mantagi” keluar dan ke dalam (“kambang di lua jo di dalam”), yang tidak hanya “besar” dan dihormati di kalangan internal Muhammadiyah saja, akan tetapi juga “disegani” oleh kalangan eksternal Muhammadiyah. Artinya, figur pimpinan Muhammadiyah Kota Pariaman ke depan adalah: individu yang mampu melakukan revitalisasi (penguatan) organisasi Muhammadiyah, dan mampu membangun komunikasi serta memainkan peran “High Politic” dengan semua kalangan di tingkat lokal. Apalagi akan ada agenda politik berupa kontestasi elektoral pada tahun 2024, yaitu Pileg dan Pilkada. Dibutuhkan figur pimpinan yang mampu mempertahankan dan “menjaga” langgam politik Muhammadiyah yang “tidak ke mana-mana, akan tetapi ada di mana-mana”, yang mampu membangun komunikasi dan mempertahankan “kedekatan yang sama” dengan segala kalangan, tanpa harus menyeret-nyeret “rumah gadang” Muhammadiyah ke ranah politik praktis (Low Politic).
Kemudian, kedua, figur pemimpin yang mampu menciptakan iklim yang sejuk dan dinamis, serta meminimalisir potensi konflik internal yang “tidak berkeruncingan”, yang menguras stamina dan mental. Apalagi jika konflik tersebut hanya berhulu kepada masalah “berbeda pendapat, tersebab perbedaan pendapatan”, masalah pengelolaan amal usaha, dan sebagainya. Sudah lupakah kita dengan petuah K.H Ahmad Dahlan yang diungkapkannya melalui adagium: Hidup-hidupilah Muhammadiyah. Jangan mencari hidup di Muhammadiyah. Dengan kata lain, Pimpinan Muhammadiyah Daerah Kota Pariaman ke depan yang dibutuhkan adalah yang memakai prinsip “baalam leba, bapadang lapang, mampu mengakomodir segala perbedaan, mampu bekerjasama, namuah tajua tabali, memakaikan prinsip “agiah-agiah kandak urang, agiah-agiah kandak awak”.
Saya pikir di Muhammadiyah itu tidak akan pernah memberikan tempat bagi kepemimpinan yang bercorak “one man , one show”, yang memiliki sifat “basutan di mato, barajo di hati”. Demikian juga dengan gaya kepemimpinan otokratis, yang seolah – olah merasa “memiliki hak veto terhadap kebenaran”, anti diskusi, anti perbedaan pendapat, dan sebagainya.
Ingat! Muhammadiyah itu organisasi “modernis” yang rasional, yang mengutamakan musyawarah dan mufakat, bukan organisasi bersifat top down yang mengkultuskan pemimpinnya! Jadi pemimpin yang dibutuhkan itu adalah pemimpin yang memiliki kemampuan untuk melakukan kolaborasi, bukannya yang memiliki sifat suka berkompetisi dan berkonflik. Prinsip kepemimpinan di Muhammadiyah itu bersifat kolektif kolegial, duduak sahamparan, tagak sapamatang. Dek basamo mangko manjadi, tuah dek sakato, cilako dek basilang, begitu bunyi petuah dan ujaran nenek moyang orang Minangkabau.
Ketiga, pemimpin yang tidak mengutamakan ego sektoral dan ego kedaerahan, sehingga mampu merajut kebersamaan warga Muhammadiyah Kota Pariaman sebagai satu kesatuan yang utuh. Sebelum terlambat, pemimpin Muhammadiyah Kota Pariaman ke depan harus mampu menghilangkan sekat-sekat ego sektoral trah kelompok dan kedaerahan. Persyarikatan Muhammadiyah ini adalah milik seluruh pengurus, anggota, dan simpatisannya, bukan milik kelompok trah keturunan tertentu, atau kelompok dari daerah tertentu.
Persoalan fakta sejarah bahwa kelompok trah dan daerah tertentu dianggap sebagai pionir perkembangan gerakan Muhammadiyah di kota ini, tidak akan bisa pula dibantah. Tidak akan ada pula yang mempertikaikannya.
Namun dengan demikian, bukan berarti trah kelompok atau daerah tertentu tersebut boleh merasa memiliki “privelege” (hak istimewa) untuk mendominasi di dalam struktur kepemimpinan Muhammadiyah di tingkat daerah. Karena, sentimen seperti ini akan berkontribusi terhadap kerapuhan soliditas Muhammadiyah Kota Pariaman, sehingga akan mengakibatkan kurangnya “sense of belonging” anggota dan simpatisan terhadap Muhammadiyah, karena dianggap didominasi oleh kelompok trah dan daerah tertentu saja. Akhirnya akan terjadi apatisme publik Muhammadiyah, dan jangan salahkan apabila mereka pada akhirnya lebih memilih menjadi “penonton” saja.
Jadi solusinya, kepemimpinan Muhammadiyah Kota Pariaman ke depan harus mampu mengakomodir dan mendistribusikan pos-pos di dalam struktur Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Pariaman kepada figur-figur yang berasal dari cabang-cabang. Sehingga tidak lagi muncul “kecemburuan” antar cabang, yang akan melemahkan soliditas keluarga besar persyarikatan Muhammadiyah di Kota Tabuik ini.
Bagaimana Sikap Saya?
Nama Saya, termasuk salah satu yang diusulkan oleh dua Pimpinan Cabang Muhammadiyah untuk menjadi salah seorang calon anggota “Tim Formatur 13” pada Musyda kali ini. Bahkan, konon kabarnya, nama Saya juga “diperhitungkan” dan “masuk bursa” untuk menjadi calon pucuk pimpinan Muhammadiyah Kota Pariaman. Sehingga, tanpa sepengetahuan Saya, kabarnya beberapa orang “simpatisan” telah melakukan upaya untuk memuluskan langkah-langkah tersebut. Tak kurang, Saya pun juga pernah dikonfirmasi oleh wartawan media elektronik mengenai hal ini. Namun, Saya jawab secara diplomatis saja. Bagaimana sebenarnya sikap Saya terhadap hal ini?
Sebenarnya, Saya bukanlah tipikal individu yang bernafsu dan ‘ngoyo” dengan segala jenis “pangkat- memangkat” ini, apalagi sampai berniat untuk menjadi pucuk pimpinan Muhammadiyah di tingkat daerah. Kalau ditikam jejak pada masa lalu, kalau sekedar menjadi pengurus IPM di tingkat cabang, dan tercantum nama sebagai salah seorang pengurus Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Sumatera Barat, Saya pernah juga lah. Sebagai kader Muhammadiyah “formal” dan “informal” (mungkin perlu dicatat, Saya bukan kader Muhammadiyah “Mualaf” dan hasil “Naturalisasi”), Saya sangat paham bahwa suksesi kepemimpinan di Muhammadiyah itu tidak sama dengan kebiasaan di organisasi politik dan organisasi sosial lainnya. Menjadi pemimpin di Muhammadiyah itu, pada intinya harus siap untuk “mewakafkan” diri, pikiran, tenaga, dan harta untuk ber-amar ma’ruf dan nahi munkar. “Baban barek, basingguluang batu. Upahnyo upek jo caraco”.
Kemudian, dalam suksesi kepemimpinan Muhammadiyah, juga tidak ada tradisi kubu-kubuan, “politik” settingan dan segala macam, “ngotot-ngototan”, ambisiusme, apalagi “ma ojok – ojok an” badan. Menjadi pemimpin di Muhammadiyah itu, karena “diminta” oleh khalayak, karena mungkin dipandang ada “patut dan mungkinnya”, bukannya menyodor-nyodorkan diri. Dan, jangan lupa, juga ada tradisi saling “babaso” di Muhammadiyah, jika ditawari posisi di dalam struktur kepemimpinan.
Jadi, sampai detik akhir artikel ini ditulis, sikap Saya pribadi adalah: jikok manih alun dilulua, jikok paik alun bamuntahkan. Dikunyah-kunyah mako dilulua, digamak-gamak mako dipacik. Ditungkuik tilantangkan dahulu, ditimbang mudharat jo manfaatnyo. Diparambunkan sajo dulu. Mengurus umat dan persyarikatan Muhammadiyah itu penting, namun menyelesaikan segala agenda pribadi dan keluarga, jauh lebih penting. Walaupun demikian, bukan berarti Saya bermaksud “maulak sambah” atau menolak “carano” yang datang, namun Saya harus melibatkan “Allah” sebelum mengambil keputusan yang strategis ini. Karena, Saya bukanlah tipikal individu: “pangkek batarimo, karajo ndak babuek”.
Selain itu, bak kata anak muda generasi millennial sekarang: “Belanda masih jauh“! Jadi, Saya tidak perlu terburu-buru dalam mengambil keputusan, karena sepatutnya harus “basiang di ateh tumbuah, mamandang di ateh roman.” Kita tengoklah dulu, bagaimana situasi dan dinamika dalam Musyda nanti. Selain itu, Saya berupaya untuk membatasi diri agar tidak terjebak ke dalam prilaku: alun tagak lah maonjak, alun duduak lah maunjua! Karano, indak salamonyo paneh ko sampai patang, sabab kadok-kadok hujan turun di tagah hari!
Demikian, artikel ini Saya tulis, semoga bermanfaat bagi gerak dan langkah warga persyarikatan Muhammadiyah kota Pariaman di masa hadapan. Saya akhiri artikel ini dengan pantun:
Jika rubuh kota Malaka.
Papan di Jawa kita dirikan.
Jika sungguh bagai dikata.
Nyawa dan badan hamba berikan.
Billahi fi sabilil haq. Fastabiqul Khairat!
Komentar