Salah seorang di antara para tokoh yang namanya cukup “harum” dan terngiang-ngiang di telinga kolektif anak nagari IV Angkek Padusunan adalah: Drs. H. Zubir Amin.
Pada masanya, ia merupakan salah satu bintang anak nagari yang bersinar cemerlang, menjadi buah tutur bagi seisi nagari, karena berhasil menggapai cita cita menjadi seorang diplomat senior di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Adapun penulis sendiri, tidak-lah mengenal beliau secara pribadi, selain karena gap generasi kami yang cukup jauh, juga karena beliau juga jarang beraktifitas di kampuang. Singkat cerita, “kebesaran” beliau hanya penulis dengar dari penggalan penggalan cerita “buah bibir” yang narasinya kadang kadang tidak utuh, dan parsial.
Namun demikian, setelah menelusuri berbagai sumber tertulis, akhirnya diperoleh juga informasi tentang diri beliau. Kompilasi dari berbagai informasi tersebut penulis sarikan menjadi sebuah artikel ringkas di bawah ini, untuk bisa menjadi pembuka jalan bagi sesiapa saja yang ingin menelusuri profil dan kehidupan belaiu lebih jauh.
Artikel ringkas ini ditulis untuk memberikan informasi, dan semoga bisa menjadi cemeti dan penyemangat bagi anak nagari dalam menggapai segala cita cita dan impian untuk mengangkat taraf kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Selain itu, diharapkan artikel ini juga akan bernilai positif dan mampu memberikan sumbangan terhadap pendokumentasian rekam jejak para anak Nagari IV Angkek Padusunan yang “terserlah” pada masanya.
Ayah dan Ibu
Zubir Amin dilahirkan di Pariaman, Sumatera Barat pada tanggal 26 Juli 1940. Ibunya bernama Siti Nur Ali, merupakan salah seorang sanak sanak kemenakan Bagindo Djabang, dan juga merupakan salah seorang trah keturunan dari Anggun Nan Tongga Magek Jabang.
Sedangkan ayahnya bernama H. Tuanku Mudo Amin, seorang ulama yang berasal dari Nagari Tungka, dan merupakan Ulama terbilang di Nagari Tungka, Nagari Sikapak, Nagari IV Angkek Padusunan, dan Kota Pariaman. Ayahnya ini merupakan anak tertua dari almukarram Syekh Tuanku Telur Nan Tua (Mufti Mesjid Raya Nagari Padusunan pada tahun 1930-an).
H. Tuanku Mudo Amin ini pada masa mudanya pernah menempuh pendidikan di Sungayang Batu Sangkar, di Parabek Bukittinggi, dan Padang Japang Payakumbuh. Ketika menempuh pendidikan pada tahun 1919, beliau satu kelas dengan Prof. Mahmud Yunus, seorang ahli tafsir kenamaan dari Minangkabau.
Setelah menamatkan pendidikannya, H. Tuanku Mudo Amin menjadi guru pengajian surau di Mesjid Raya Sikapak (Surau Palak Tingga, Surau Taluak), dan menjadi pendakwah yang dikenali.
Salah seorang adik H. Tuanku Mudo Amin (saudara satu ayah berlain ibu) adalah H. Rasul Telur, anak dari Syekh Tuanku Telur nan Tua dari istrinya yang lain. H. Rasul Telur ini pernah menempuh pendidikan di Universitas al Azhar Mesir, yang kemudiannya menjadi salah seorang ulama terbilang di nagari IV Angkek Padusunan, dan berkiprah memimpin Thawalib School Padusunan pada masa jayanya di tahun 1931.
Saudaranya Adik Beradiak
Zubir Amin merupakan anak bungsu dari 6 orang bersaudara, sehingga sering dipanggilkan dengan nama “uncu” (si bungsu). Kakak tertua Zubir Amin adalah Hj. Aisyah Amin (yang kemudian lebih dikenal dengan nama Aisyah Dahlan). Ia merupakan seorang aktivis, pendidik dan muballigh, Anggota Majlis Konstituante (Badan pembuat undang undang dasar), anggota Majlis permusyawaratan Rakyat Sementara/MPRS (1966-1971), dan salah seorang ketua muslimah Nahdhatul Ulama pusat. Aisyah Amin menikah dengan KH.Muhammad Dahlan, Menteri Agama Republik Indonesia periode 1967-1971. Setelah Aisyah Dahlan (Aisyah Amin), kakak kakak Zubir Amin yang lain adalah: Hasan Basri, Abdulah Gani ( Mak Dulah Balasuang), Ahmad Taher, Chadijah.
Pendidikan
Zubir Amin menempuh pendidikan kesarjanaannya di Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia, yang ditamatkannya pada tahun 1970. Dalam catatan buku yang berjudul: “Apa & Siapa FISIP UI” (yang ditulis dalam rangka peringatan 25 tahun FISIP Universitas Indonesia), menyatakan bahwa Zubir Amin merupakan mahasiswa angkatan pertama (mahasiswa sulung) di Jurusan Ilmu Politik FISIP UI. Di antara kawan kawannya seangkatan ketika itu adalah: Makata Ma, Abdul Muthalib, dan Arbi Sanit (Arbi Sanit ini berasal dari Painan, Pesisir Selatan, dan pernah menjadi Dosen di Departemen Ilmu Politik FISIP UI. Salah satu buku beliau yang penulis ingat adalah: Sistem Politik Indonesia).
Departemen Ilmu Politik FISIP UI sendiri didirikan pada tahun 1962, dengan ketua pertamanya yaitu: Ibu Alm. Miriam Budiardjo (Beliau kemudian menjadi profesor, dan mengarang buku “wajib” bagi mahasiswa jurusan Ilmu Politik di Indonesia, yaitu: “Dasar Dasar Ilmu Politik”). Ketika itu, Departemen Ilmu Politik tergabung ke dalam Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Indonesia.
Perjalanan Karir
Sumber terbuka Wikipedia bahasa Indonesia menyebutkan bahwa Zubir Amin memulai kariernya sebagai pegawai Departemen Agama (1971-1973) dan memantapkan diri di Departemen Luar Negeri sejak tahun 1973 hingga pensiun.
Dari aspek perjalanan karir, Zubir Amin merupakan seorang mantan diplomat senior Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, yang sudah kenyang pengalaman dalam dunia diplomatik di luar negeri.
“Pajabat karier” ini memulai karyanya sebagai Kepala Seksi Eropa I, Dirhub Sosbud. Dirjen Hubungan Ekososbud Luar Negeri, setelah itu beberapa pos di KBRI mulai ditempatinya, seperti Madagaskar (1979-1982), Turki (1982-1984). Tahun 1984-1986, ia ditarik ke Jakarta, sebagai Kasubdir Tenaga Asing Direktorat Konsuler.
Tak lama di Indonesia ia pun diangkat sebagai Kabid Penerangan KJRI Hongkong (1986-1990). Kemudian ia kembali menempati Kasubdir Amerika Tengah dan Amerika Selatan, Direktorat Amerika, Deplu (1990-1993). Setelah itu ia diangkat sebagai Kabid Politik KBRI Beijing sampai tahun 1997.
Kembali ke tanah air sebagai Kapus Dokumentasi dan Perpustakaan (1997-1998), kemudian menjabat Sekretaris Balitbang Deplu (1998-2000). Tahun 2000 ia diangkat sebagai Konsul Jenderal RI di Marseille, Perancis.
Penerima Satyalencana Karya Satya 20 tahun 1991 ini, sering kali mengikuti pertemuan Internasional sebagai Delegasi RI, seperti di Turki, Republik Rakyat Tiongkok, dan tentu saja di Jakarta, Indonesia.
Beberapa tanda jasa dan penghargaan diraihnya, antara lain berkat usahanya dalam pemasyarakatan Politik Luar Negeri di beberapa universitas di Indonesia.
Keluarganya
Zubir Amin menikah dengan Cut Indria Marzuki, seorang perempuan yang memiliki susur galur keturunan dari Nagari Koto Gadang, Kabupaten Agam (wafat pada Senin malam, 11 November 2019).
Hasil perkongsian hidupnya dengan Cut Indria Marzuki telah dikaruniai tiga orang putera dan dua orang puteri. Salah seorang anak perempuannya yang bernama Nirina Raudhatul Jannah Zubir (lebih dikenal dengan nama “Nirina Zubir”), berkiprah sebagai presenter dan berkegiatan dalam bidang seni peran di tanah air. Ia dilahirkan ketika Zubir Amin berdinas di Antananarivo, KBRI Madagaskar pada tahun 1979-1982.
Buya: Konsul Jenderal RI di Marseille, Perancis!
Dalam keseharian, Zubir Amin dikenal sebagai sosok yang tak banyak bicara, biasa dipanggil oleh anak anaknya dengan panggilan kesayangan “Buya”.
Dalam kultur Minangkabau, panggilan buya ini biasanya juga disematkan kepada individu yang “alim” dalam pengetahuan agama Islam.
Sebagai anak seorang ulama, Zubir Amin tentu saja juga mewarisi kealiman ayahandanya dalam pengetahuan agama Islam. Hal ini beliau buktikan ketika secara spontan didaulat menjadi Khatib shalat Jum’at pada tanggal 29 Desember 2000 di Ruang Sasana Budaya KBRI Paris.
Dan, beliau bisa menjalankan tugas sebagai khatib di atas mimbar Jum’at itu, yang dengan lancar melafazhkan ayat-ayat Al Qur’an dan hadist Nabi Muhammad SAW serta menguraikannya dengan jelas, lugas dan sederhana.
Demikianlah yang digambarkan oleh Herman Munaf, dalam artikel yang berjudul: Zubir Amin, yang dimuat dalam Buletin PPI Perancis, Edisi April 2001.
Gelar Pusaka Adatnya
Zubir Amin merupakan pewaris dan pemegang gelar Tuanku Magek Jabang Sutan Riayatsyah. Gelar adat Alam Minangkabau ini didapatnya dari penelusuran silsilah keturunan bersama Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung H. Sutan Muhammad Taufiq Thaib, S.H, Tuanku Muda Mahkota Alam.
Dari penelusuran tersebut, ternyata ditemukan bahwa silsilah dirinya merupakan salah satu cucu dekat dari Abdurahman, yang bergelar Tuanku Magek Jabang salah seorang petinggi Kerajaan Alam Minangkabau dulunya.
Berdasarkan persetujuan Raja Alam Minangkabau tersebut, ia diberi hak untuk menyandang kembali gelar nenek moyangnya tersebut. Gelar ‘Tuanku Magek Jabang Sutan Riyayadsyah’ ini merupakan perpaduan antara gelar kakek buyutnya ‘Tuanku Magek Jabang’ dan gelar adat sukunya Mandahiliang di Pariaman ‘Sutan Riyayadsyah’.
Selain memangku jabatan Tuanku Magek Jabang Sutan Riayatsyah, Drs. H. Zubir Amin juga merupakan seorang penghulu dengan gelar Datuak Rajo Jambi, sebagai gelar adat tertinggi di pesukuan Mandahiliang di Nagari IV Angkek Padusunan, Kota Pariaman.
Gelar adat ini sudah hampir 66 tahun dilipat, karena terakhir kali dipakai terakhir dipakai oleh mamak kandungnya yang bernama Bagindo Jabang pada tahun 1943.
Acara Penobatan gelar kebesaran Tuanku Magek Jabang Sutan Riayatsyah dan gelar Datuak Rajo Jambi kepada Drs. H. Zubir Amin, dilakukan oleh Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung H. Sutan Muhammad Taufiq Thaib, S.H, Tuanku Muda Mahkota Alam, yang “dilewakan” pada hari Sabtu, tanggal 11 Juli Tahun 2009. Turut hadir dalam hadir dalam upacara penobatan gelar Adat tersebut: Gubernur Sumbar, Gamawan Fauzi, Wali Kota Pariaman, Mukhlis Rahman dan Bupati Padang Pariaman, Muslim Kasim serta para raja di Minangkabau.
Penutup
Demikianlah, tulisan artikel tentang Drs. H. Zubir Amin ini penulis hadirkan dalam rangka untuk memotivasi anak nagari IV Angkek Padusunan khususnya, dan bagi sesiapa saja yang memerlukannya.
Sekali lagi, tanpa bermaksud untuk “mangapik daun kunik”, penulis merasa sangat penting untuk mengabarkan kisah dan perjalanan hidup individu-indivu yang “terserlah” di dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan ini, untuk dapat diambil menjadi i’tibar bagi generasi berikutnya.
Kampus UI Depok, Kamis 27 Februari 2020.
Sadri Chaniago
(Anak Dusun Sungkai, Desa Kampung Baru, Nagari IV Angkek Padusunan, Kota Pariaman. Mahasiswa S3 Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia/ Dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas.).
Komentar