Oleh: Holy Adib (Wartawan)
Kemarin di media massa Sumatera Barat terbit banyak berita dan tulisan tentang Buya Boy Lestari setelah tersiar kabar beliau menghadap ilahi. Media mewartakan berita kematian beliau, sementara orang-orang yang mengenal beliau menceritakan potongan-potongan kisah tentang beliau. Saya ingin menyumbang satu tulisan tentang beliau, yakni tentang namanya. Cerita ini disampaikan Buya Boy Lestari kepada saya dalam pembuatan buku biografi singkat beliau pada 2016.
Beliau dikenal dengan nama Boy Lestari. Itu bukan nama pemberian orang tuanya. Ketika beliau lahir pada 5 Mei 1958, orang tuanya, Maya Ind Rajo dan Jauhari, memberikan nama yang bagus untuk anak mereka: Muhammad Nazir. Nama belakang itu menjadi nama panggilannya.
Muhammad Nazir merupakan nama yang diberikan oleh ibunya, yang diusulkan oleh seorang ulama. Ketika usia kandungannya berusia enam bulan, Maya Ind Rajo berziarah ke Batuhampar. Di Batuhampar ia bertemu dengan Syekh Arifin, mursyid Tarekat Naqsyabandiyah. Syekh Arifin berkata kepada Maya Ind Rajo, “Piak, kalau lahir anakmu perempuan, agiah namo Siti Aisyah, kalau laki-laki agiah namo Muhammad Nazir.”
Ketika Maya Ind Rajo melahirkan, anaknya ternyata laki-laki. Karena itu, ia menamai bayi tersebut Muhammad Nazir. Dari sini kelihatan sejak kecil, bahkan sebelum lahir, kehidupan Boy Lestari sudah bersentuhan dengan Tarekat Naqsyabandiyah. Ajaran ini terus beliau pegang hingga kelak dewasa.
Pindah ke Bukittinggi
Nazir lahir di Dusun Kapecong, Nagari Kamang Mudiak, Kecamatan Kamang Magek, Kabupaten Agam. Selama tinggal di sana, beliau mengumpulkan kayu bakar dan menjualnya di Pakan Sinayan (pasar) untuk membantu orang tuanya mencari nafkah.
Kehidupan keluarganya susah. Orang tuanya hidup sebagai pekerja upahan di sawah orang lain karena tidak punya sawah. Kehidupan keluarganya makin sulit ketika sang ayah meninggal dunia saat Nazir berusia tujuh tahun. Penderitaannya bertambah ketika ibunya lumpuh karena jatuh saat mengikuti suluk kali ketujuh di Batuhampar.
Saat Nazir duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar (SD), keluarganya pindah ke Bukittinggi dan menetap sementara waktu di rumah keluarga orang tuanya. Di kota Jam Gadang itu beliau melanjutkan pendidikan di SD Ateh Ngarai Bukittinggi.
Di Bukittinggi Boy Lestari juga bekerja keras mencari uang sepulang sekolah. Di sana beliau berinteraksi dengan banyak orang sehingga peluang untuk mencari pekerjaan pun lebih banyak. Beberapa pekerjaan yang pernah beliau lakoni di Bukittinggi ialah menjual koran, kacang goreng, kue, karcis bioskop di Bioskop Eri, dan bekerja di Mobil Sianopal sebagai kernet.
Setelah tahun bersekolah di Bukittinggi, beliau akhirnya lulus SD, lalu melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Tarusan Kamang Mudiak, Agam. Dengan semangat hidup yang tinggi, Nazir melakoni pekerjaan apa saja asalkan halal. Prinsip pekerjaan halal ini tetap beliau pegang teguh karena ia adalah bagian dari MTI yang sejak kecil dididik untuk selalu berada di jalur yang benar.
Singkat cerita, Nazir akhirnya bekerja di hotel. Suatu ketika, beliau bertemu dengan Nasroen Ilyas, pemilik Hotel Jogja, Bukittingi. Nasroen mengajaknya bekerja di hotel tersebut. Nasroen mengajak bekerja karena mengenal Nazir sebagai pekerja keras dan lantaran Nazir secara fisik tergolong bersih, gagah, dan rapi.
Meski demikian, Nazir tetap memberikan syarat kepada pemilik hotel bahwa beliau hanya bisa bekerja paruh waktu, yakni bekerja sepulang sekolah. Di Hotel Jogja pada awalnya Nazir menjadi tukang cuci seprai, piring dan room boy.
Seiring berjalannya waktu, keuletan Nazir bekerja makin tinggi. Ia kemudian ditunjuk sebagai resepsionis karena mampu berbahasa Arab dan berbahasa Inggris. Bahkan, pemilik hotel sangat mengandalkannya dalam melayani tamu untuk mendorong peningkatan pendapatan hotel.
Perubahan Panggilan Nama
Saat bekerja di hotel inilah panggilannya berganti dari Nazir menjadi Boy, kemudian menjadi Boy Lestari. Panggilan Boy itu diberikan oleh Nasroen Ilyas.
Sewaktu itu Nasroen Ilyas memanggil Nazir dan mengatakan, “Payah ambo mamanggia waang jo namo Muhammad atau Nazir. Ambo imbau saja waang jo namo Boy” (susah saya memanggil kamu dengan nama Muhammad atau Nazir. Saya panggil saja kamu dengan nama Boy). Setelah mendengar itu, Boy menjawab, “Tasarah apaklah” (terserah bapaklah).
Sementara itu, nama Lestari yang melekat di belakang nama Boy beliau peroleh dari anggota rombongan Emil Salim, tokoh pelestarian lingkungan dan ahli ekonomi. Sewaktu itu Emil Salim menginap di Hotel Jogja. Salah seorang anggota rombongan Emil Salim menyarankan kepada Nasroen Ilyas untuk menambah kata lestari di belakang nama Boy.
“Tambahkan saja namanya Lestari, Pak, sebab wajahnya tampan dan bersih. Jadi, cocok namanya Boy Lestari,” kata anggota rombongan Emil Salim itu. Sejak itulah nama Muhammad Nazir benar-benar berubah menjadi Boy Lestari.
Nama Boy Lestari “bertambah” setelah dianugerahi gelar Syekh Shahibul Fadhilah oleh para mursyid Tarekat Naqsyabandiyah dari empat provinsi, yakni Sumatera Barat, Sumatera Utara, Lampung, dan Jambi.
Penganugerahan gelar Syekh Shahibul Fadhilah kepada Boy terjadi pada 2005 di halaman kantor Gubernur Sumbar dalam acara zikir akbar. Acara itu dipimpin oleh Duski Samad sebagai Ketua Panitia, yang dihadiri oleh Penjabat Gubernur Sumbar, M. Thamrin; Wali Kota Padang, Fauzi Bahar dan 20.000 orang anggota majelis zikir.
Nama Boy Lestari “bertambah” lagi setelah dikukuhkan sebagai Penghulu Suku Sikumbang pada 2011 di Kapecong, Agam, dengan gelar Datuak Palindih. Dengan begitu, namanya menjadi sangat panjang karena gelar dalam bidang agama dan adat: Syekh Shahibul Fadhilah Boy Lestari Datuak Palindih. Meskipun begitu, orang-orang hanya memanggilnya sebutan buya atau Buya Boy Lestari.
Kini di depan nama yang panjang itu bertambah satu gelar lagi, yakni almarhum, yang biasa disingkat dengan alm. Tadi pagi beliau dinyatakan wafat setelah beberapa hari dirawat di RSUP M. Djamil, Padang. Semoga beliau ditempatkan di tempat yang sangat layak oleh Allah. Amin.
Komentar