Lintassumbar.co.id – Akhirnya Farida dan keluarganya kembali bisa tersenyum setelah Hakim Sartika Dewi Hapsari, memvonis bebas dirinya dan keluarganya dari laporan penyerobotan tanah, seperti yang dilaporkan oleh investor kawasan wisata Siti Noerjannah dari Nagari Sumpur.
Mafia tanah berkedok investor itu melaporkan Farida, warga Padanglaweh Malalo, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar, ke polisi atas tuduhan menyerobot tanah dan membuat rumah di atas tanahnya sendiri.
Dalam sidang Tipiring yang digelar di Polres Padangpanjang pada 4-5 Februari 2021, hakim tunggal yang dipimpin oleh Sartika Dewi Hapsari, memutuskan Farida, suaminya Abidin dan anaknya Syahrul belum dapat dinyatakan melakukan perbuatan pidana penyerobotan tanah.
“Farida dan keluarganya mengaku tanah yang dikelolanya adalah tanah pusaka tinggi kaumnya yang secara turun temurun sudah mengelola tanah tersebut sebagai sawah. Mereka membangun rumah di atas sawah itu karena rumah mereka hancur akibat banjir bandang (galodo). Namun, mereka diusir dan dilaporkan ke polisi oleh orang-orang yang mengaku perwakilan investor,” ungkap tokoh masyarakat Malalo Tigo Jurai, Nojirfa H, di Malalo (3/3/2021).
Diungkapkannya, pihak nagari tetangga mengklaim kawasan itu sebagai milik mereka dan membuat sertifikat tanpa sepengetahuan Farida dan pemerintahan Nagari Padanglaweh Malalo. Kemudian, tanah yang sudah disertifikatkan itu dijual ke investor dari Jakarta.
Dalam sidang yang digelar selama dua hari, pihak Farida melalui kuasa hukumnya, Muharnis, Khairul Nuzli, Andrian dan Erinaldi berhasil menampilkan saksi-saksi yang menguatkan soal sejarah awal kepemilikan tanah ulayat kaum kliennya yang berasal dari pusaka tinggi kaum Datuak Kabasaran Nan Itam sekaligus bukti bukti kepemilikan dari kliennya.
Kuasa hukum terdakwa, Khairul Nuzli mengatakan, bahwa putusan hakim telah tepat karna kliennya belum dapat dinyatakan melakukan perbuatan pidana menguasai tanah tanpa izin sebagaimana yang telah didakwakan melanggar pasal 6 ayat 1 huruf a Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 51 tahun 1960.
“Untuk itu klien kami telah bebas dari segala tuntutan hukum,” tegas Khairul.
Sebelumnya, Farida dilaporkan pidana oleh perwakilan investor bernama H Yohanes ke Polda Sumbar. Padahal Farida yang sehari-hari hanya petani itu sedang melakukan gugatan secara perdata ke Pengadilan Negeri Padangpanjang. Meski sudah mengajukan gugatan perdata, kasus pidananya tetap diproses oleh polisi.
Selain itu, pihak kenagarian Padanglaweh Malalo dan Kerapatan Adat Nagari (KAN) Padanglaweh Malalo juga sudah melayangkan protes ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tanah Datar atas terbitnya sertifikat tertanggal Januari 2020 itu.
Pihak Kenagarian dan KAN menyebut, lahan seluas 5.870 meter persegi yang disertifikatkan oleh warga Sumpur itu adalah milik ulayat Malalo Tigo Jurai.
“Selain lahan Farida di bawah kaum Datuk Kabasaran nan Itam, terdapat 9 bidang tanah milik kaum lain yang disertifikatkan dengan total 60 hektar,” ungkap tokoh masyarakat, Indrawan didampingi Nasrul.
Ditambahkan ninik mamak Malalo Tigo Jurai, R Dt Sarikan dan A Dt Rajo Bukik, sertifikat itu melalui permohonan di Nagari Sumpur sehingga warga Padanglaweh Malalo tidak mengetahuinya.
“Selain sertifikat di atas tanah ulayat milik Farida, terungkap sertifikat lain yang juga dijual kepada seorang pengusaha di Jakarta. Sertifikat di lahan seluas 60 hektar itu dipecah-pecah menjadi 23 persil dan atas nama pengusaha itu beserta keluarganya,” paparnya.
Sementara itu, Ketua KAN Padanglaweh Malalo, Walinagari/Sekretaris Nagari Padanglaweh Malalo, empat orang wali jorong, ketua tim tapal batas dan ulayat, ketua pemuda mendatangi Kantor BPN Tanah Datar, Selasa, 6 Oktober 2020. Selain menyampaikan penolakan secara langsung, juga menyampaikan surat penolakan secara resmi.
“Kami atas nama pemerintahan nagari Padanglaweh Malalo protes atas sertifikat tersebut. Apakah BPN tidak melihat di lokasi saat pengukuran. Lahan di Jorong Rumbai itu sudah kami kelola sejak turun temurun, sejak ratusan tahun. Sejak kapan ada perubahan nama jorong tanpa sepengetahuan kami. Proses penerbitan sertifikat itu juga tidak benar karena kami tidak pernah melihat ada petugas mengukur,” kata Walinagari Padanglaweh Malalo Akhyari Datuk Talarangan.
Kepala Kantor BPN Tanah Datar Nurhamidah, mengakui menandatangani sertifikat tersebut.
“Sebenarnya perut saya badampuang (takut), tapi sudah saya tandatangani,” kata Nurhamida saat itu.
Akibat munculnya 23 persil sertifikat di lahan seluas 60 hektar itu, sempat terjadi keributan yang mengakibatkan sejumlah sepeda motor dibakar massa.
“Warga Malalo Tigo Jurai baik yang di kampung dan di perantauan menduga, mafia tanah ikut bermain dalam mensertifikatkan tanah ulayat di Malalo Tigo Jurai,” pungkas Nojirfa H. (relis)
Komentar