Oleh: Fatridha Yansen, M.Si
Dosen Universitas Sumatera Barat
I am inevitable”. Penggemar seri Marvels khususnya film Avengers: Endgame tentu masih ingat dengan kutipan yang menjadi salah satu ikon di film yang tayang di tahun 2019 silam dan berhasil menjadi box office. I am inevitable atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “yang tak dapat dielakkan”, merupakan kata yang diucapkan Thanos di beberapa kesempatan sebagai pengokohan atas kekuatan dan pengaruh yang dimilikinya sekaligus mengisyaratkan bahwa karakter lain dalam film tersebut tidak dapat menggangu rencananya. Kata ini juga dirasa tepat untuk mewakili perkembangan teknologi digital yang sudah tidak dapat dihindari, yang telah merambah seluruh bidang kehidupan di abad 21 ini. Sehingga disebut sebagai era digital.
Era digital diartikan sebagai masa atau zaman dimana hampir seluruh bidang dalam tatanan kehidupan sudah ditopang dengan teknologi digital. Istilah ini juga bisa diartikan sebagai munculnya teknologi digital yang menggantikan teknologi-teknologi yang sebelumnya sudah digunakan (mekanik dan elektronik analog) oleh manusia.
Contoh paling massive adalah bagaimana internet telah mengubah banyak hal, meliputi industri e-commerce, industri perbankan, digital marketing, e-learning, e-entertainment dan berbagai bidang lainnya yang dapat dinikmati oleh seluruh kalangan.
Anak-anak juga turut merasakan dan menikmati perkembangan teknologi digital ini khususnya melalui penggunaan gadget. Penting diketahui bahwa penggunaan gadget dapat menimbulkan permasalahan kesehatan pada anak.
Sebuah riset yang dilakukan oleh Bansal di tahun 2017 mengemukakan bahwa terdapat berbagai permasalahan yang dihadapi oleh anak sehubungan dengan pemakaian gadget salah satunya adalah gangguan kesehatan mental. Tahun 2016, the American Academy of Pediatrics (AAP) mengeluarkan rekomendasi terkait penggunaan mobile gadget, untuk anak-anak usia 0-18 bulan tidak boleh menggunakan sama sekali, usia 3-5 tahun dibatasai hanya 1 jam per hari, dan an anak usia 6-18 tahun dibatasi 2 jam per hari.
Hal ini mengingat anak usia dini berada dalam masa emas perkembangan otaknya. Salah satu hasil penelitian menyebutkan, kapasitas kecerdasan anak pada usia empat tahun sudah mencapai 50 persen. Kapasitas ini akan meningkat hingga 80 persen pada usia delapan tahun. Ini menunjukkan pentingnya memberi rangsangan pada anak usia dini.
Rangsangan dapat dilakukan melalui pembelajaran sains. Sains adalah proses pengamatan, berpikir, dan merefleksikan aksi dan kejadian/peristiwa. Sains merupakan cara kita berpikir dan melihat dunia sekitar kita. Ini adalah salah satu cabang ilmu atau subjek bahasan yang mengkaji fakta-fakta/kenyataan yang terkait dengan fenomena alam. Pengkajian ini pun perlu dilakukan secara berkelanjutan (Isaac Asimov, 1995). Sains sendiri merupakan salah satu dari 6 literasi dasar yang wajib dikuasai oleh generasi Indonesia (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018).
Literasi sains merupakan sebuah pengetahuan serta kecakapan ilmiah yang mendorong sebuah individu untuk dapat mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan yang baru, menjelaskan fenomena ilmiah, serta mengambil simpulan berdasar pada fakta, memahami karakteristik sains, kesadaran akan adanya kesinambungan antara sains dan teknologi dalam membentuk lingkungan alam sekitar, intelektual, dan budaya, serta kemampuan untuk terlibat dan peduli terhadap isu-isuyang berkaitan dengan sains (Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), 2016). Pernyataan ini menjadi dasar bahwa anak-anak sejak usia dini (pra sekolah) sudah mulai diperkenalkan dengan literasi sains.
Sains pada anak-anak usia dini dapat diartikan sebagai hal-hal yang menstimulus mereka untuk meningkatkan rasa ingin tahu, minat dan pemecahan masalah, sehingga memunculkan pemikiran dan perbuatan seperti mengobservasi, berpikir, dan mengaitkan antar konsep atau peristiwa. Sains membiasakan anak-anak mengikuti tahap-tahap eksperimen dan tak boleh menyembunyikan suatu kegagalan. Artinya, sains dapat melatih mental positif, berpikir logis, dan urut (sistematis). Di samping itu, dapat pula melatih anak bersikap cermat, arena anak harus mengamati, menyusun prediksi, dan mengambil keputusan.
Dengan sains dapat melatih anak menggunakan lima inderanya untuk mengenal berbagai gejala benda dan gejala peristiwa. Anak dilatih untuk melihat, meraba, membau, merasakan dan mendengar. Semakin banyak keterlibatan indera dalam belajar, anak semakin memahami apa yang dipelajari. Pembelajaran sains melalui percobaan melatih anak menghubungkan sebab dan akibat dari suatu perlakuan sehingga melatih anak berpikir logis.
Cara yang paling menyenangkan bagi anak usia dini untuk belajar sains adalah melalui konsep bermain. Misalkan membuat mini praktikum sederhana seperti mengembangkan balon tanpa ditiup, membuat larva gunung Merapi, membuat lava lamp, membuat jembatan warna dan berbagai mini praktikum sederhana lainnya. Dalam melakukan praktikum, anak-anak harus didampingi oleh orang dewasa demi faktor keamanan dan kenyamanan. Selain itu hal ini juga bisa mempererat bonding antara anak dan orangtua.
Jika kesombongan Thanos “I am ineviable” dibalas dengan “And..I am Ironman” oleh Ironman (Robert Downey Junior), maka kedigdayaan “I am inevitable”-nya teknologi digital dapat kita filter karena “And… I am human”.
Referensi
American Academy of Pediatric 2016 Recommendations for Children’s Media Use, Am Acad Pediatr
Bansal S and Mahajan R C 2018 Impact of mobile use amongst children in rural area of Marathwada region of Maharashtra, India, International Journal of Contemporary Pediatric 5
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). (2016), PISA 2015 Assessment and Analytical Framework: Science, Reading, Mathematic and Financial Literacy, PISA.
Wiedarti, et al. (2018). Gerakan Literasi
Sekolah. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah
Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Komentar