Oleh: Sadri Chaniago, S.IP, M.Soc.Sc
(Wakil Ketua KAN IV Angkek Padusunan Kota Pariaman, Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas)
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2024 ini di Kota Pariaman kembali digelar event pariwisata budaya Hoyak Tabuik. Acara ini dilaksanakan sejak tanggal 1 sampai dengan 10 Muharram, dengan acara puncaknya yaitu menghoyak dan membuang Tabuik ke laut tabuik pada yang dilanjutkan dengan dua tabuik dibuang ke laut di Pantai Gandoriah, Kota Pariaman, pada hari Minggu tanggal 21 Juli 2024. Agak istimewa pada tahun ini, kegiatan yang diberi label “Pesona Hoyak Tabuik”, secara resmi telah masuk menjadi salah satu dari 110 Kalender Event Nasional atau Kharisma Even Nusantara (KEN) 2024 yang digagas oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Republik Indonesia, dilaksanakan di 38 Provinsi di Indonesia.
Salah satu rangkaian acara “Pesona Hoyak Tabuik” tersebut adalah pelaksanaaan Seminar Tabuik dengan tema: “Masihkah Tabuik Menjadi Potensi Utama Pariwisata Kota Pariaman?”, yang dihelat di Aula Balai Kota Pariaman pada hari Selasa, 16 Juli 2024. Saya didaulat oleh Dr. Firman Syakri Pribadi, MM (kerap disapa dengan nama panggilan “Adjo Fe”) selaku ketua pelaksana Pesona Hoyak Tabuik Piaman 2024, untuk menjadi “janang” (moderator) dalam seminar tersebut. Saya bertugas memfasilitasi dan memandu jalannya seminar yang menghadirkan para pembicara yang sudah malang melintang dan mumpuni di bidangnya masing-masing, yaitu : Dr. Roberia, SH.MH (Penjabat Wali Kota Pariaman, sebagai keynote speaker), Dr. Iqbal Alan Abdullah (CEO Royalindo Group, tokoh pebisnis asal Pariaman yang telah malang melintang di kancah nasional dan internasional, merupakan cucu dari Bagindo Dahlan Abdullah), Dr. Asril Muchtar (Putra Sungai Pasak Pariaman, Dosen ISI Padang Panjang), dan Dr. Ma’ruf (“Sumando” orang Pariaman, Dosen Fakultas ekonomi Universitas Andalas). Seminar ini cukup mengundang antusias dari masyarakat dari berbagai kalangan, dan proses diskusinya pun berlangsung dengan hangat dan penuh keakraban ala langgam Piaman. Tulisan opini ringkas saya ini merupakan refleksi terhadap ide dan gagasan yang berkembang dalam seminar tersebut.
![](https://www.lintassumbar.co.id/wp-content/uploads/2024/07/IMG_20240722_135842.jpg)
Pertama, apabila berbicara mengenai budaya Tabuik, memang agaknya sudah menjadi kehendak sejarah bahwa Tabuik sudah menjadi identitas yang spesifik dan icon budaya bagi masyarakat Piaman. Dalam konteks pariwisata budaya, tidak banyak dan bahkan nyaris tidak ada event pariwisata di Sumatera Barat yang mampu menghimpun umat manusia secara massal, selain dari event pariwisata budaya Tabuik di Pariaman. Dari perspektif ekonomi dan pariwisata, tentu ini adalah peluang sekaligus tantangan untuk mengelolanya menjadi lebih berdaya guna secara ekonomi bagi pemerintah daerah dan masyarakat, menghasilkan multi player effect.
Kedua, jika ingin menjadikan tabuik sebagai kegiatan ekonomi dan pariwisata, maka perlu adanya desakralisasi dari prosesi tabuik yang selama ini dimaknai sangat “agamis” dan bernuansa relijius, menjadi prosesi yang bermakna budaya dan pariwisata. Makna desakralisasi dalam konteks ini, sebagaimana dijelaskan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (https://kbbi.web.id/desakralisasi), adalah: adanya penghilangan kesakralan, atau proses menghilangnya sifat sakral (suci) terhadap sesuatu, menjadi pemaknaan yang lebih bersifat sekularisasi, yaitu budaya dan pariwisata. Untuk itu, sangat dimungkinkan dilakukannya pengemasan dalam konteks kekinian, penarasian dan pemaknaan ulang dari berbagai prosesi Tabuik (Mengambil Tanah, Menebang atau Mengambil Batang Pisang, Maradai, Maarak Panja), Maarak Saroban, Tabuik Naiak Pangkek, Tabuik Dibuang ke Laut). Sehingga dengan demikian, resistensi sebagian masyarakat terhadap Tabuik yang dianggap sebagai repsentasi dari ritual kaum Syi’ah dapat diminimalisir.
Walaupun secara fakta historisnya sulit dibantah bahwa Tabuik memiliki akar dari tradisi perayaan yang digagas oleh kaum Syi’ah, namun dengan adanya desakralisasi terhadap kemasan prosesi dan pemaknaan filosofis terhadap prosesi tersebut, maka akan membuat “ideologi” Syi’ah terlucuti, sehingga prosesi dan pemaknaan terhadap tabuik hanya sebatas kegiatan budaya dan untuk kebutuhan pariwisata saja. Kan tidak masuk akal juga, masyarakat Pariaman yang dapat dikatakan seratus persen adalah kaum Muslim yang memiliki paham keagamaan Sunni (Ahlussunnah wal Jama’ah), tiba tiba “dituduh” telah menjadi kaum Syi’ah, hanya karena melaksanakan kegiatan budaya Tabuik setiap tahunnya. Dengan adanya desakralisasi terhadap kemasan prosesi dan pemaknaan filosofis Tabuik, maka Tabuik di Pariaman tidak lagi berhubung kait dengan kebiasaan dan amalan kaum Syi’ah, kecuali hanya karena faktor histiorisnya saja, bukan pada nilai dan filosofinya. Dengan demikian Tabuik Pariaman telah berakulturasi sepenuhnya dengan budaya dan kehidupan masyarakat Piaman.
Kemudian, Ketiga, Sebagai sebuah agenda budaya, Tabuik memiliki “sasok jarami, tunggua panabangan” (asal usul), hak nan bamiliak, harato nan bapunyo, yaitu hak milik otentik dari anak nagari Pasar Pariaman (Tabuik Pasa) dan anak nagari V Koto Air Pampan (Tabuik Subarang). Selama ini memang telah terlihat bahwa kedua kelompok anak nagari tersebut telah dilibatkan dalam kegiatan Tabuik, namun keterlibatan mereka baru sebatas tenaga teknis “pelaksana lapangan” (dalam pembuatan tabuik, pelaksanaan prosesi), namun belum lagi pada level pengambil atau penentu kebijakan, yang berhak menghitam dan memutihkan. Hendaknya, pemerintah kota dalam konteks ini secara perlahan-lahan mulai “berela hati” untuk melibatkan mereka pada level yang lebih strategis, yaitu penentu dalam pengambilan kebijakan. Sudah saatnya pemerintah kota mengambil posisi hanya sebagai “regulator” saja, tidak perlu pula ikut menjadi “implementor”. Sehingga dengan demikian, anak nagari sebagai pemilik dari budaya Tabuik tersebut, memiliki keleluasaan untuk berkreasi.
Keempat, yang juga tidak kalah pentingnya adalah mempertimbangkan untuk menyerahkan atau melibatkan pengelolaan event budaya Tabuik ini kepada pihak swasta (event organizer), sehingga bisa dikelola secara lebih professional, mandiri, dan tidak memberatkan pemerintah kota dari segi pembiayaan. Intinya adalah, harus dimulai secara perlahan- lahan mengurangi “intervensi penuh” pemerintah kota dalam pelaksanaan event ini, menuju pengelolaan yang berbasis masyarakat dan pihak pengusaha. Langkah awal Pemko Pariaman yang menunjuk Dr. Firman Syakri Pribadi, (Anak Nagari dan salah tokoh masyarakat Nagari Pasar Pariaman) sebagai Ketua Pelaksana Pesona Budaya Tabuik pada tahun 2024 ini, merupakan sebuah langkah maju yang patut diapresiasi. Langkah yang berada di luar “pakem” selama ini, merupakan starting point untuk menjadikan penyelenggaraan tabuik yang berbasis masyarakat dan pihak pengusaha untuk ke depannya.
Kelima, satu hal lagi yang juga tidak kalah pentingnya adalah: agar kegiatan event pariwisata budaya tabuik ini mendapatkan legalitas hukum secara bernegara, maka tentu kita berharap kepada para wakil rakyat yang berkantor di Mangguang, agar perlu menimbang nimbang untuk menggagas sebuah produk hukum daerah berupa Perda Inisiatif yang mengatur dengan rinci tentang standar yang baku dan jelas mengenai Tabuik ini. Sebagai payungnya, sudah ada Perda tentang perlindungan kearifan lokal, adat, dan kebudayaan, yang juga merupakan perda Inisiatif dari DPRD Kota Pariaman, yang diinisiasi oleh Mulyadi, Wakil Ketua DPRD Kota Pariaman/ Sekretaris DPW PPP Sumbar). (*)