Padangpariaman – Di tepi sungai yang membelah perkampungan di Nagari Kapalo Hilalang, Kecamatan 2×11 Kayu Tanam, suara gemercik air sungai dengan desir angin yang selalu menyapa setiap hari. Di sanalah, Yulidawati, perempuan tangguh ini membungkuk memungut batu satu per satu, tatapan matanya memancarkan cahaya: cahaya tekad yang tidak pernah padam.
Sehari-hari, Yulidawati bekerja sebagai kuli batu. Pekerjaan yang bagi sebagian orang mungkin tak terbayangkan, namun baginya adalah jalan hidup yang harus ditempuh demi tiga anak yang menunggu di rumah sederhana.
Dalam hidup yang keras itu, sesekali hadir tangan-tangan yang menenangkan. Hari itu, Wakil Ketua III BAZNAS Kabupaten Padang Pariaman, Anton Nius Rizal, datang bersama Kabag Kesra Padang Pariaman, Alkhaufa, serta Kadis Sosial, Siska Primadona. Mereka tak sekadar membawa bantuan, tapi juga menghadirkan empati dan pengakuan atas keteguhan seorang ibu yang bertahan melawan nasib.
Anton Nius Rizal, memandang Yulidawati dengan rasa hormat. “Di balik tangan-tangan tangguh seorang ibu pekerja, tersimpan kekuatan cinta yang luar biasa. BAZNAS hadir bukan untuk mengasihani, tapi untuk menemani perjuangan agar setiap tetes peluh berubah menjadi peluang hidup yang lebih baik,” ujarnya dengan nada reflektif.
Sementara itu, Alkhaufa, menegaskan bahwa sinergi antara pemerintah daerah dan BAZNAS menjadi pilar nyata kepedulian sosial. “Kami berkomitmen agar tak ada warga Padang Pariaman yang merasa sendirian dalam menghadapi kesulitan hidup,” katanya.
Senada dengan itu, Kadis Sosial, Siska Primadona, menambahkan, “Setiap kisah seperti ini mengingatkan kita bahwa kemiskinan bukan sekadar data, tapi kisah manusia yang menuntut empati dan tindakan nyata,” ujarnya.
Pada lain kesempatan, Ketua Baznas Padang Pariaman, M. Defriadi, Dt. Rangkayo Basa. Menjelaskan “Melalui zakat, kita sedang menata kembali keadilan sosial, mengalirkan keberkahan dari yang kuat kepada yang rapuh. Tugas kita bukan sekadar menyalurkan bantuan, tapi menghidupkan kembali kesadaran kemanusiaan,” pungkasnya.
Bagi Yulidawati, bantuan itu bukan sekadar beras, uang, atau barang kebutuhan pokok. Ada makna yang lebih dalam pengakuan atas keberadaannya. “Saya tidak sendiri,” ujarnya
Sore mulai merambat. Di antara rumah yang sejuk. Namun kali ini ada sesuatu yang berbeda: langkahnya lebih ringan, senyumnya lebih luas. Ia tahu, harapan kini terasa lebih dekat. (RST)













