Oleh: Novendra Hidayat*
Diskursus teraktual tentang aspirasi dari beberapa tokoh Minangkabau baik di aras lokal maupun nasional tentang perubahan nama provinsi Sumatera Barat menjadi provinsi Minangkabau ataupun Daerah Istimewa Minangkabau (DIM) perlu dikaji secara komprehensif. Meskipun dibolehkan secara regulasi, sebaiknya tetap ditimbang secara matang dan dicermati secara teliti.
Adapun rencana pengusulan perubahan tersebut bukanlah hal yang baru, bahkan telah berlangsung lama yaitu sejak tahun 1970-an, 2014 dan kembali mengemuka di tahun 2020/2021 ini.
“Hari ini, gagasan perubahan dirasa semakin relevan,” ungkap Fadli Zon, Anggota DPR-RI yang juga merupakan Ketua DPP Ikatan Keluarga Minangkabau (IKM) di beberapa media lokal dan nasional.
Sebelum melangkah lebih lanjut, perlu digarisbawahi terlebih dahulu bahwa usulan perubahan ini harus tetap dalam koridor persatuan Indonesia. Artinya, perubahan nama ini harus menjadi penguat rasa nasionalisme kebangsaan Indonesia dengan keberagaman suku bangsa yang dimiliki, dimana Minangkabau adalah satu diantaranya.
Mengenai perubahan ini, ada beberapa aspek yang perlu kita perhatikan dan “kunyah-kunyah” bersama. Pertama, secara regulasi (peraturan); perubahan atau penggantian nama daerah sebuah hal yang lazim dan dibolehkan, sebagaimana termuat jelas dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Nama Daerah, Pemberian Nama Ibukota, Perubahan Nama Daerah, Perubahan Nama Ibukota, Dan Pemindahan Ibukota.
UUD 1945 (Amandemen) yang biasa disebut UUD NRI 1945 pun mengatur tentang desentralisasi dan satuan pemerintahan daerah di Indonesia, yaitu selain menganut desentralisasi simetris atau seragam dan mengakui pula desentralisasi asimetris atau beragam. Pengaturan tentang desentralisasi asimetris ditemukan dalam pasal 18A ayat 1, pasal 18B ayat 1 dan 2. Dalam pasal 18A ayat 1 diamanatkan bahwa “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”.
Lebih jauh dalam 18B ayat 1 dan 2 diatur bahwa :
1). Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dalam undang-undang.
2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur di Undang-Undang.
Kedua, secara historis (nilai sejarah); perubahan nama daerah tertentu harus memperhatikan nilai kesejarahan. Pada aspek ini, Minangkabau dapat diakui keberadaannya dan berkontribusi nyata dalam perjalanan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Hal ini tanpa bermaksud menafikan peran dari elemen kebangsaan Indonesia lainnya, peran strategis Minangkabau terhadap bangsa Indonesia, baik pada masa pra kemerdekaan ataupun pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 nyata dan patut dihargai sebagai akar perjuangan kebangsaan dari dulu, kini hingga nanti yang dapat menjadi pelecut dan motivasi bagi generasi bangsa masa depan.
Dari awal berdirinya “Republik” pada tahun 1925 yang digagas oleh salah seorang putera Minangkabau yang bernama Tan Malaka. Berikut keberadaan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin Mr. Sjafruddin Prawiranegara, dengan Bukittinggi sebagai ibukotanya. Ketika Yogyakarta sebagai ibukota dikuasai Belanda, Ranah Minang hadir menyelamatkan Republik dari vacum of power (kekosongan pemerintahan).
Keberadaan PDRI kemudian memberi Indonesia legitimasi untuk meneruskan perundingan dengan Belanda di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Berikut dari empat orang Bapak Republik yang namanya paling sering disebut, yaitu Soekarno, Hatta, Sjahrir dan Tan Malaka, tiga di antaranya adalah putera Minangkabau.
Mohammad Hatta adalah Proklamator RI bersama Soekarno.
Setelah Indonesia merdeka, satu orang Minang menjabat Wakil Presiden RI (Mohammad Hatta), empat orang jadi Perdana Menteri (Sjahrir, Hatta, Abdoel Halim, Natsir), satu orang menjadi Presiden RI di bawah Republik Indonesia Serikat (Mr. Asaat), dan posisi strategis lainnya.
Selain itu, Mohammad Natsir, orang Minang yang mengusulkan mosi integral, mempersatukan kembali wilayah NKRI yang tercerai-berai ke dalam sejumlah negara bagian. Belum lagi dari sisi sejarah kebahasaan, dimana orang Minangkabau punya sumbangan besar terhadap pembentukan bahasa persatuan.
Semua hal tersebut menunjukkan betapa besarnya pengaruh dan sumbangsih Minangkabau terhadap sejarah perjalanan kebangsaan dan kenegaraan kita.
Ketiga, secara kultur (kebudayaan); perubahan nama daerah didasarkan juga atas pertimbangan budaya, seperti keunikan budaya yang hanya dimiliki wilayah tersebut. Minangkabau dapat menjadi satu diantara simbol keunikan budaya bangsa Indonesia.
Sumatera Barat yang identik dengan Minangkabau adalah diantara wilayah yang masih mempertahankan secara konsisten nilai tradisi budaya. Hingga saat ini nilai kearifan lokal sistem adat budaya masih kokoh diterapkan dalam sub sistem pemerintahan lokal yang disebut “nagari”.
Kearifan lokal budaya Minangkabau juga tercermin dalam filosofi “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.” Filosofi Minangkabau ini menegaskan identitas adat yang berlandaskan agama, dan agama yang berdasar kepada kitabullah (Al-Qur’an).
Minangkabau memiliki kekhasan tersendiri yang tercermin pada kekokohan pada nilai adat dan kekuatan pada nilai agama. Disamping Sistem Kekerabatan Matrilineal (berdasarkan garis keturunan ibu), yang juga satu-satunya diterapkan di Indonesia. Kebudayaan Minangkabau dengan demikian merupakan satu diantara kekayaan identitas bangsa yang mesti dijaga dan dipelihara secara bersama di tengah tantangan arus zaman.
Keempat, secara record (pengalaman); perubahan nama daerah merupakan suatu kelaziman dan bukan hal yang baru di Indonesia sebagaimana telah diatur regulasi. Belajar dari pengalaman sebelumnya, Yogyakarta diakui menjadi daerah istimewa sejak 1945 karena faktor sejarah. Yogyakarta ditetapkan sebagai daerah istimewa karena peran Kesultanan yang luar biasa dalam mendukung Republik.
Selain itu, Aceh pernah menjadi daerah istimewa sebelum diubah menjadi daerah khusus juga karena faktor perjalanan sejarahnya.
Berkaitan Daerah Khusus dan Daerah Istimewa sebagai model pemerintah daerah tentu harus dibarengi juga dengan memperhatikan dasar akademik yang jelas, yaitu implementasi dari model desentralisasi asimetris yang dilandaskan pada political reasons (keberagaman karakter regional) dan efficiency reasons yakni bertujuan untuk penguatan kapasitas pemerintah daerah.
Kelima, secara legitimasi; dalam artian pengakuan dan penerimaan masyarakat terhadap langkah kebijakan ataupun pelaksanaan ‘keputusan politik’ tertentu. Termasuk dalam rencana perubahan nama Sumatera Barat menjadi provinsi Minangkabau/DIM ini.
Perubahan ini idealnya harus beranjak dari kehendak bersama seluruh masyarakat Minangkabau beserta Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang, dan Rang Mudo Anak Kamanakan Minang baik di ranah maupun di rantau. Berkaitan dengan hal ini tentu perlu didahului dengan musyawarah dan mufakat bersama seluruh stakeholders terkait.
Akhir kata, perubahan nama daerah suatu hal yang lazim dan dibolehkan secara regulasi, selagi masih dalam kerangka persatuan Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Begitupun perihal rencana perubahan nama Sumatera Barat menjadi provinsi Minangkabau/DIM.
Perubahan ini tentu harus tetap ditimbang secara matang dan dicermati secara teliti. Disamping mempertimbangkan sisi sejarah dan budaya, rencana perubahan ini harus dipastikan terlebih dahulu apakah benar-benar kehendak seluruh masyarakat Minangkabau. Artinya, keikutsertaan seluruh masyarakat Minangkabau tanpa kecuali sangat menentukan dalam hal ini.
Dinamika dalam kehidupan sosial kemasyarakatan akan selalu ada dan lumrah terjadi,termasuk dalam rencana perubahan ini. Tinggal kemudian, bagaimana pihak-pihak terkait membangun komitmen, menyatukan langkah bersama dengan tetap mengedepankan prinsip musyawarah dan mufakat yang kemudian dapat direalisasikan untuk kebermanfaatan bersama dalam membangun negeri menjadi lebih baik.
Untuk itu, tentu dibutuhkan langkah-langkah solutif dan progresif dari seluruh pihak terutama Pemerintah Daerah, bersama Tokoh Masyarakat “Tungku Tigo Sajarangan, Tali Tigo Sapilin” (Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai), dan Bundo Kanduang sebagai Limpapeh Rumah Nan Gadang, beserta segenap anak kamanakan Minangkabau baik di ranah maupun di rantau.
Semua elemen Minang sangat mengharap bangkitnya kembali spirit Minangkabau, spirit “Mambangkik Batang Tarandam” (membangkitkan/mengembalikan tata nilai adat dan budaya Minangkabau yang luhur dengan kebijaksanaan akal budi).
Dengan perubahan nama ini boleh jadi para pengusul bermaksud memotivasi anak bangsa yang bernama Minangkabau untuk berbenah diri, berkiprah dan berkontribusi lebih besar hingga bergaining position (posisi tawar) yang lebih baik lagi di kancah nasional dan internasional, seperti yang telah didahului oleh banyak tokoh bangsa karismatik dari Minangkabau yang menjadi panutan, pahlawan bangsa.
Identitas Minangkabau yang dibawaserta dan melekat pada tokoh bangsa, kental dengan tata nilai sosial dan budaya Minangkabau yang berkelindan dengan keragaman suku bangsa lainnya di nusantara dalam membentuk persatuan Indonesia.
*Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Bangka Belitung, asal Sawahlunto
Komentar