Oleh: Sadri Chaniago (Wakil Ketua KAN IV Angkek Padusunan, Kota Pariaman/ Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas)
Dalam satu minggu belakangan ini, viral di jagat maya postingan mengenai peristiwa bunuh diri seorang perempuan yang berasal dari kota Pariaman, dengan TKP di sebuah penginapan di Padang. Peristiwa ini terjadi menjelang pelaksanaan akad nikahnya yang direncanakan pada awal tahun 2024. Peristiwa ini ini juga diberitakan di berbagai media elektronik, dan stasiun tv nasional. Berbagai narasi spekulatif pun muncul dari ketikan jari netizen terkait peristiwa ini, sebagai “kato rang banyak, kato bagalau”. Salah satu narasi yang muncul: motif dari peristiwa ini adalah ketidakmampuan keluarga korban membayar “uang jemputan” (uang japuik) yang diminta oleh keluarga laki-laki. Komentar julid dari para netizen secara “liar” kemudian menghakimi “adat kawin bajapuik” di Pariaman, yang menunjukan indikasi ‘gagal pahamnya” terhadap konsep tersebut. Ternyata, informasi terbaru menunjukan bahwa laki-laki tersebut tidak berasal dari Pariaman, dan keluarga korban sendiri juga sudah mengklarifikasi bahwa penyebab korban melakukan tindakan bunuh diri bukanlah persoalan ‘uang jemputan”, akan tetapi diduga karena penyebab lain.
Namun, para netizen sudah terlanjur menuding adat kawin bajapuik di Pariaman, yang seolah-olah membenarkan stereotype negatif dan distorsi pemahaman publik terhadap konsep ini. Sehingga keluarlah ungkapan: laki-laki Pariaman termahal di dunia ! Orang tua laki-laki Pariaman materialis ! Oleh karena itu, artikel ini menelusuri (lakuang batinjau, kalam basigi) terhadap konsep adat kawinan bajapuik, dengan menggunakan prinsip “marosok alun sahabih gauang, manimbang sahabih raso”.
Apa itu Adat Kawin Bajapuik ?
Fenomena adat kawin bajapuik di Pariaman ini, sejak lama telah menimbulkan “diskursus” di berbagai kalangan, yang kemudian melahirkan berbagai cerpen, filem pendek, pementasan seni, yang mengkritisinya. Dalam konteks akademik, kajian terhadap fenomena adat kawin bajapuik di Pariaman, juga telah dikaji dari berbagai disiplin ilmu dan perspektif dalam bentuk hasil penelitian, skripsi sarjana (S.1), tesis magister (S2) dan disertasi doktor. Terlalu panjang daftar dan hasil penelitian tersebut jika dituliskan di sini.
Adat kawin bajapuik di Pariaman juga sering dipahami dengan keliru sebagai tradisi “membeli” laki – laki, karena adanya pemberian uang japuik (uang atau benda yang bernilai ekonomis, dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki), pada saat prosesi penjemputan pengantin laki-laki (manjapuik marapulai), sebelum akad nikah dilangsungkan. Pada masa dahulu, uang japuik ini hanya ditujukan bagi laki-laki Pariaman yang memiliki bergelar “nasab” dari ayah (Urang Babanso), yaitu: Sidi (keturunan Sayyid / ulama penyebar Islam di Pariaman), Sutan (keturunan dari Pagaruyung), Bagindo (keturunan petinggi Aceh di Pariaman). Sedangkan bagi laki-laki yang tidak “babangso” (bergelar “Uwo”, atau “Marah”), biasanya tidak memakai uwang japuik alias “perai” (gratis) saja.
Dalam adat kawin bajapuik, jumlah dan bentuk dari uang japuik, merupakan hasil kesepakatan awal ketika pihak perempuan “maresek” (membuka jalan) kepada pihak laki-laki. Dalam pembicaraan tertutup ini, digambarkan jumlah uang japuik seorang laki-laki yang “diresek”. Apabila pihak perempuan menyanggupi, maka prosesi dilanjutkan pada tahap berikuitnya. Jika tidak ada kesepakatan kedua belah pihak, maka prosesnya dihentikan. Sebelum prosesi ”maresek” dilaksanakan, pihak perempuan mempertimbangkan faktor sekufu (setara) dengan pihak laki-laki dalam segala aspek (terutama aspek sosial dan ekonomi), agar tidak “tadoroang pakiah manyabuang’, terlanjur melangkah. Bak kata orang Melayu: Pandang anak, pandang menantu !
Pada prinsipnya penentuan jumlah uang japuik ini bersifat “sampik lalu, lungga batokok” (murah murah sarik), bersifat fleksibel dan dinamis, tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Jadi bukan sesuatu yang kaku, dan tertutup dari proses negosiasi. Selama ini pun Penulis jarang mendengar mendengar batalnya sebuah perkawinan yang telah direncanakan, tersebab oleh jumlah uang japuik. Bahkan pada kasus perkawinan laki-laki dari “rantau” Pariaman, dengan perempuan dari daerah “darek” (Tanah Datar, Agam, 50 Kota, dan sebagainya) – dimungkinkan tidak menggunakan uang japuik, apabila masing-masing pihak menerapkan prinsip “ba alam laweh, bapadang lapang”, mengambil jalan tengah sesuai ungkapan: “habih adaik dek bakarilahan”. Dalam konteks ini kedua belah pihak mengurusi ninik mamak dan adatnya masing-masing. Ini bermakna, pihak perempuan tidak perlu memberikan uang japuik kepada pihak laki-laki, sedangkan pihak laki-laki tidak perlu pula wajib “mengisi sasuduik” kepada pihak perempuan. Kuncinya: musyawarah dan mufakat kedua belah pihak !
Hal penting yang juga harus dipahami adalah: uang japuik dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki, tidak otomatis sepenuhnya menjadi milik pihak laki-laki, karena sebagian besar harus “dikembalikan” kepada pengantin perempuan, ketika pertama kali berkunjung ke rumah mertuanya (acara manjalang). Merupakan “kewajiban” keluarga pengantin laki-laki untuk mengembalikan minimal “separoh” dari uang japuik kepada keluarga pengantin perempuan dalam bentuk uang atau perhiasan emas (paragiah jalang). Jika tidak, akan menjadi “aib kolektif” keluarga dan niniak mamak kampung itu. Paragiah jalang ini adalah hak mutlak pengantin perempuan, yang akan dipergunakan sebagai “modal” oleh kedua pengantin dalam menjalankan rumah tangga.
Pergeseran Nilai-Nilai Adat Kawin Bajapuik.
Yenny Febrianty dalam disertasinya (2020) menjelaskan bahwa telah terjadi pergeseran nilai tradisi perkawinan bajapuiksebagai dampak perubahan struktur sosial dari extended family (keluarga besar/kerabat) menjadi nuclear family (keluarga batih-ayah, ibu dan anak-anak). Pertama, peran mamak (kepala kaum) bergeser kepada ayah dari calon mempelai. Pergeseran tanggungjawab dan prosesi perkawinan sebenarnya mengancam hilangnya nilai-nilai yang terkandung dalam perkawinan “bajapuik”. Dulu, perkawinan dengan sistem bajapuik, semua urusan ditangani oleh mamak, termasuk urusan perkawinan yang menjadi tanggung jawab bersama keluarga besar. Dengan demikian tidak ada seorang gadis yang tidak kawin, sehingga tidak menjadi menjadi aib keluarga besar. Termasuk soal uang jemputan, merupakan tanggungan bersama keluarga besar, karib kerabat si perempuan tersebut. Oleh karena itu, dalam membiayai perkawinan seorang perempuan, menggadaikan tanah ulayat (tanah milik bersama keluarga besar/kaum) pun boleh dilakukan.
Kedua, karena dampak globalisasi, nilai tradisi perkawinan bajapuik telah mengalami pergeseran dalam tataran filosofi (penghormatan terhadap calon menantu laki-laki atas dasar mufakat dan bersifat gotong royong) dan tata cara perkawinan, telah bergeser kepada keutamaan status sosial laki-laki calon menantu tersebut. Maihasni (2010), dan Yenny Febrianty (2020) di dalam disertasi mereka mengatakan bahwa pada masa sekarang, besarnya uang japuik ditentukan oleh status sosial, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan seorang laki-laki. Padahal, esensi dan substansi dari tradisi kawin bajapuik adalah untuk menghormati laki-laki yang berkarakter, memiliki akhlak dan keimanan yang baik, serta berasal dari keturunan baik-baik, yang akan menjadi calon menantu bagi keluarga perempuan.
Oleh karena itu, Yenny Febrianty dalam disertasinya (2020) merekomendasikan agar pemerintah Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman mengambil kebijakan melindungi tradisi perkawinan “bajapuik” sehingga menjadi bagian kebudayaan, kekayaan dan identitas masyarakat Pariaman. Konsep perlindungan nilai tradisi perkawinan bajapuik ditujukan pada perlindungan nilai-nilai substansi tradisi perkawinan bajapuik, dan penguatan dalam bentuk kongkrit dari perlindungan tradisi ini oleh masyarakat adat Pariaman serta Pemerintahan Daerah. Nilai-nilai substansi perlindungan tradisi perkawinan adat bajapuik pada masyarakat Pariaman harus berdasarkan aspeak filosofis, sosiologis, dan aspek yuridis. Ke-tiga aspek ini sangat mengutamakan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi perkawinan bajapuik, seperti: nilai gotong royong, nilai penghargaan terhadap laki-laki sebagai kepala keluarga serta nilai- nilai musyawarah untuk menghasilkan kesepakatan antara kedua keluarga calon mempelai laki-laki dan perempuan.
Masa Depan Adat Kawin Bajapuik
Maihasni di dalam disertasinya (2010), meyakini bahwa adat kawin bajapuik di Pariaman akan tetap bertahan, karena terjadinya pertukaran nilai ekonomi dan sosial budaya di antara pihak perempuan dengan pihak laki-laki. Pihak perempuan “mempertukarkan” sejumlah uang japuik kepada pihak laki-laki, untuk mendapatkan laki-laki yang mempunyai status sosial ekonomi (pekerjaan dan pendapatan). Pihak perempuan mendapatkan menantu dan keturunan dari perkawinan yang dilaksanakan. Sedangkan pihak laki-laki mempertukarkan uang japuik untuk kebutuhan pribadinya, dan biaya pesta. Mereka juga memperoleh prestise/penghormatan, asal-usul yang jelas, dan status sosial tinggi di masyarakat.
Dalam pemahaman Penulis, kondisi yang membuat adat perkawinan bajapuik ini mampu bertahan menghadapi tantangan zaman adalah: karena adanya simbiosis mutualisme dari pihak perempuan dan pihak laki, yang sama-sama diuntungkan. Awak nandak iyo, wek e namuah pulo. Hauih Lapeh, Badan baubek pulo ! Sungguhpun demikian, tindakan intervensi perlu dilakukan oleh para stakeholder yang terkait, terkait mengenai uang japuik ini, seperti: Sosialisasi mengenai konsep uang japuik yang sebenarnya. Kedua, jumlah dan besaran uang jemputan, agar jumlah uang japuik yang diminta oleh pihak laki laki kepada pihak perempuan tidak “keterlaluan”, yang sulit diterima oleh raso dan pareso. Kemudian ketiga, fenomena “komersialisasi” uang japuik yang dilakukan oleh pihak laki-laki “non Pariaman”, yang juga meminta uang japuik dalam jumlah yang cukup mencengangkan, ketika hendak kawin dengan perempuan Pariaman, dan sebagainya. Walau apapun, sebagai sebuah budaya, adat perkawinan bajapuik ini akan tetap bertahan selagi pemakainya merasa memerlukannya. Namun, apabila budaya ini dianggap perlu “menyesuaikan” diri dengan zaman, maka tidak tertutup pula terhadap perubahan. Biarlah waktu yang akan menjawabnya!
Komentar