Oleh: DR, Roberia, SH, MH, – Penjabat Walikota Pariaman
Sering kita terlena dengan status kita sendiri. Kita ini merupakan orang-orang yang memang seharusnya dilayani karena kita masing-masing adalah…bla bla bla. Logika umum memberlakukan kaidah bahwa bawahan kitalah yang harus mengerti dan memang wajib melayani kita. Hal seperti ini tentu dimaklumi bahwa banyak orang akan memahaminya memang sudah seharusnya begitu. Logika kita bisa saja tidak sama. Logika kita bisa berbeda. Tapi kenapa kita berbeda dalam memahami dan melaksanakannya.
Kejadian yang menimpa saya hari ini sangat bisa menjadikan saya semakin banyak dan banyak lagi harus menanggung sabar, sabar, sabar karena sabar itu tidaklah sulit.
Saya lumrah berpikir bahwa dengan tiket perjalanan saya kembali ke tempat tugas sudah dipesankan oleh bawahan dan bahkan saya juga sudah menginfokan bahwa saya sedang dalam perjalanan ke bandara tempat saya akan naik pesawat untuk terbang menuju kembali ke tempat tugas. Artinya, sesuai jadwal terbang tentu juga akan mudah dilacak jam berapa saya tiba di bandara tujuan kembali ke tempat tugas masing-masing. Tentu saja hal ini sudah sewajibnya menjadi prosedur tetap bagi bawahan yang memang bertugas untuk melayani saya.
Tapi apa dinyana? Semua tidak berjalan sesuai prosedur. Apakah ini kesengajaan? Entahlah…! Jika tidak sengaja tapi faktanya kenapa lain. Bawahan saya merupakan orang yang sudah berpengalaman. Bawahan saya bukanlah pegawai yang baru bekerja. Entahlah apa yang terjadi?.
Singkat logika, saya sudah terbiasa hidup apa adanya dan selalu berusaha tidak menyusahkan orang lain serta memang dari dulu tidak bisa manja karena hidup yang penuh perjuangan sejak kecil. Akhirnya pilihan saya adalah mantap berjalan keluar bandara tanpa nengok kiri kanan lagi sembari menarik koper. Jalan beraspal yang dilalui kendaraan saya susuri pinggiran jalannya dengan tegap. Sembari memperhatikan suatu hal, hanya untuk solusi lain.
Saat berjumpa kendaraan umum di dekat pintu keluar bandara, saya berusaha memanggil supir kendaraan umum tersebut namun supirnya malah saling lempar “ayo siapa yang mau jalan,” karena saling lempar jadinya kelamaan dan saya pilih cari solusi lain, saya tinggalkan saja dan berjalan kembali, kemudian ada supir mobil online menawarkan jasa dan sedikit terjadi tawar menawar namun ternyata harga tidak cocok karena jarak hanya 35 km saja mendekati angka yang di luar perkiraan hitungan kantong pribadi.
Saya terus berjalan sembari menarik koper atau membawa barang masing-masing dan tibalah saya dipertigaan jalan dan saya masuk ke warung kopi (walau tidak pesan kopi) kemudian pesan mie rebus dan teh panas. Sembari berbincang dengan tukang ojek untuk tawar menawar ongkos ke tempat tugas. Deal! Singkat bincang, tukang ojek bersedia dan termasuk syarat yang saya minta yaitu jika tiba azan maghrib maka langsung berhenti di masjid atau mushalla.
Tak terasa waktu berjalan lebih dari satu jam, barulah kemudian bawahan dan bawahan lainnya menghubungi. Untuk apa lagi?, toh saya sudah sampai di tempat tugas kembali, semua dijalani saja. Sabar itu mudah kok. (*)
Komentar