Oleh: Indah Permata Suryani, SE.,M.Sc – Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di sebagian besar negara merupakan penggerak utama kegiatan ekonomi nasional. Berdasarkan sejarah, di Indonesia UMKM telah memberikan kontribusi lebih dari 50% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Selain itu, UMKM juga menjadi sumber utama penciptaan lapangan kerja. Dengan kata lain, UMKM telah memberikan kontribusi signifikan kepada Pemerintah dalam meminimalisir pengangguran di kalangan perempuan, pemuda dan pekerja (T. T. H. Tambunan, 2017). Namun perkembangan kontribusi UMKM sendiri tidak seimbang dengan pertumbuhan UMKM itu sendiri. Hal ini disebabkan beberapa kendala salah satunya keterbatasan akses pembiayaan dan bahkan menjadi kendala utama bagi para pelaku UMKM.
Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Koperasi dan UMKM tahun 2020, ditunjukkan bahwa hingga tahun 2018, sebanyak 64.197.057 unit UMKM terdiri dari 63.350.222 Unit Usaha Mikro, Usaha Kecil 783.132 dan 60.702 unit usaha menengah. Jika unit usaha tersebut berkembang, maka Indonesia akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat (Putri Rusadi & Benuf, 2020). Namun saat ini UMKM masih memiliki kendala diantaranya pembiayaan untuk modal awal dan keterbatasan modal untuk berkembang (Syahrir & Nasution, 2013). Tanpa akses pembiayaan yang lebih baik, UMKM di Indonesia akan semakin sulit menjadi mesin pertumbuhan ekonomi (PWC, 2019). juga dikutip dalam artikel Asian Development Bank tentang Percepatan Inklusi Keuangan di Asia Tenggara dengan keuangan digital “tanpa akses ke layanan keuangan , segmen masyarakat yang tidak terlayani dan terlayani akan dikecualikan dari pertumbuhan dan manfaatnya… ..” (PWC, 2019).
Proporsi kredit UMKM terhadap total kredit berdasarkan data dari Bank Indonesia meningkat dari tahun ke tahun mulai tahun 2015 739,80 trilliun rupiah sampai dengan 1,098.14 Trilliun Rupiah pada tahun 2019. Namun jika dibandingkan dengan jumlah unit UMKM tidak sebanding, dimana jumlah UMKM lebih banyak dari jumlah kredit yang tersedia. Oleh karena itu diperlukan adanya alternatif pembiayaan selain Formal Financial Institution untuk membiayai UMKM (Putri et al, 2020).
Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah telah berupaya mencanangkan beberapa program untuk membantu pembiayaan UMKM, namun pada prakteknya sebagian besar UMKM tidak memenuhi persyaratan minimum untuk mendapatkan pembiayaan dari bank atau lembaga keuangan formal lainya (T. Tambunan, 2015). Hal ini dikarenakan Perbankan memiliki prinsip 5C dalam pemberian kredit yaitu Character, Capacity, Collateral, Capital dan Condition. Bahkan secara signifikan Pelaku usaha yang tidak tersentuh oleh financial institution dapat terjebak pada rentenir.
Permasalahan terkait dengan keterbatasan akses pembiayaan membuka peluang bagi alternatif pembiayaan lainnya selain akses pembiayaan secara konvensional (Schweitzer & Barkley, 2017). Pertumbuhan teknologi informasi telah mendorong pengembangan layanan keuangan digital. FinTech lahir sebagai dampak baru dari transformasi digital di sektor keuangan, dengan pemanfaatan teknologi yang inovatif dapat memberikan layanan keuangan yang menawarkan kemudahan pengelolaan keuangan dibandingkan dengan pemberi pinjaman tradisional (Lestari et al., 2020).
Fintech menawarkan layanan customer-centric dan didukung dengan teknologi internet untuk mempermudah akses (Gomber et al., 2017). Dalam Fintech Summit dan Pekan Fintech Nasional 2020, Wakil Ketua Dewan Komissioner OJK (Otoritas Jasa Keuangan) Nurhaida menyampaikan bahwa terdapat 18 model bisnis fintech untuk mendorong pertumbuhan UMKM. Diantaranya Agregator, financial planner, funding agent yang dapat membantu dalam memberikan arahan terkait rekomendasi dalam menentukan pendanaan yang sesuai dengan bisnis yang dijalankan.
Selanjutnya model yang berhubungan dengan pembiayaan atau financing diantaranya equity crowdfunding, peer to peer lending (P2P Lending) , project financing. Selain itu juga terdapat model bisnis yang bergerak dalam sekor asuransi seperti InsurTech dan enabler berupa credit scoring, otentifikasi verifikasi. Di Indonesia, industri fintech platform pinjaman online telah berkembang pesat. Perkembangan industri fintech di Indonesia sangat tinggi karena berawal dari mendukung lebih banyak pinjaman kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) (Davis et al, 2017).
Dilansir dalam aseanbriefing.com komposisi Fintech Industry di Indonesia saat ini di dominasi oleh Fintech lending sebanyak 50% diikuti dengan fintech payment 23%, Blockchain/Crypto 8%, personal finance, insurtech, crowdfunding, comparison dan POS Service. Berdasarkan survey dari OJK saat ini terdapat 103 P2P Lending yang sudah teregistrasi yang dapat diakses melalui laman www.ojk.go.id pada bagian penyelenggara Fintech lending berizin OJK yang terdiri dari 96 konvensional dan 7 Syariah dengan jumlah pinjaman yang beredar per 31 Desember 2021 senilai 29,99 trilliyun rupiah.
Berdasarkan Peraturan OJK No 77/ PJOK.01/2016 , Fintech lending / peer to peer lending merupakan layanan pinjam meminjam secara langsung antara kreditur yang memberikan pinjaman dan debitur penerima pinjaman yang memanfaatkan teknologi informasi. Fintech lending juga dikenal dengan istilah LPMUBTI (Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi).
Sistem kerja dari P2P lending ini dimulai dengan registrasi oleh pengguna baik borrower maupun lender dalam keanggotaan melalui komputer atau smartphone, kemudian borrower dapat mengajukan pinjaman, platform P2P lending akan memrposes analisa dan menentukan borrower yang dapat memperoleh pinjaman sekaligus menentukan tingkat resiko dari borrower bersangkutan. Setelah itu borrower layak untuk dimasukan ke dalam marketplace p2p lending secara online dilengkapi dengan resiko dan juga profil borrower.
Jika dilihat dari sisi lender (yang meminjamkan dana) para Investor melakukan analisa berdasarkan data-data yang disampaikan oleh Platform dan dapat melakukan pendanaan kepada borrower yang mereka tentukan melalui platform. Borrower dalam hal ini menerima sejumlah pinjaman dan mengembalikan berdasarkan waktu pengembalian yang sudah ditetapkan dan investor pun menerima dana pinjaman kembali termasuk bunga melalui platform tersebut.
Berdasarkan data dari PWC fintech series keunikan Fintech Lending di Indonesia berhubungan dengan ekosistem dimana terdapat keunikan dari bisnis model UMKM yang underserved, perlu adanya kolaborasi antara Conventional dan Fintech Lending untuk mengintegrasikan data yang dimiliki. Fintech lending dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh pasar yang belum terlayani karena beberapa kriteria, Otoritas Jasa Keuangan mengkategorikan Pinjaman Konvensional menjadi Formal dan Informal.
Pertama mengenai persyaratan, bagi Bank secara formal harus menggunakan verifikasi fisik sedangkan di Fintech lending hanya membutuhkan digital footprint atau credit scoring dari pihak ketiga. Berdasarkan situasi ini terlihat bahwa Fintech lending membutuhkan biaya operasional yang lebih rendah. Mengenai proses underwriting, untuk formal membutuhkan riwayat kredit atau laporan keuangan sebagai informasi pendapatan tetap yang diberikan, sedangkan Fintech Lending mengolah data dari platform pemrosesan digital yang digunakan untuk mengidentifikasi biaya suku bunga tanpa agunan. Dalam hal kerjasama, lembaga keuangan formal memberikan peluang terbatas berupa small ticket kepada investor untuk pemasok uang sementara FinTech Lending menyediakan platform yang sederhana dan nyaman untuk menarik calon pemberi pinjaman.